Pagi itu, 26 Desember 2004, dunia terbangun oleh kabar yang mengerikan. Lautan yang biasanya tenang di lepas pantai Aceh tiba-tiba berubah menjadi monster yang menelan lebih dari 230.000 nyawa di 14 negara.
Gempa berkekuatan 9,1 magnitudo itu tidak hanya mengguncang bumi, tetapi juga kesadaran kita tentang betapa rapuhnya kehidupan di atas lempeng tektonik yang tak pernah diam.
Empat belas tahun kemudian di Palu, tepatnya pada 28 September 2018, tanah yang kita pijak berubah menjadi lumpur cair akibat likuifaksi, menelan ribuan rumah dan nyawa dalam sekejap.
Gempa tak pernah memberi peringatan—dan itulah mengapa kita harus belajar dari masa lalu untuk melindungi masa depan.

Indonesia bukan sekadar negara kepulauan yang indah dengan pantai–pantai memukau dan gunung-gunung megah. Di balik pesonanya, kita hidup di atas salah satu zona paling aktif di planet ini, Cincin Api Pasifik.
National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) mencatat bahwa dari tahun 1990 hingga 2024, Indonesia menduduki peringkat kedua dunia dengan 166 gempa bumi besar—hanya kalah dari China dengan 186 kejadian.
Angka ini bukan sekadar statistik dingin; ia adalah pengingat bahwa setiap getaran kecil yang kita rasakan bisa menjadi awal dari bencana besar.
Laporan terbaru dari Jepang pada 31 Maret 2025 memberikan gambaran mengerikan tentang apa yang bisa terjadi jika kesiapsiagaan gagal.
Pemerintah Jepang memperkirakan gempa besar di Palung Nankai bisa merenggut hingga 298.000 nyawa. Tsunami berpotensi menyebabkan 215.000 kematian. Jika 70 persen warga segera mengungsi, pemerintah meyakini jumlah korban bisa turun menjadi 94.000 jiwa.
Belajar dari Masa Lalu untuk Masa Depan
Di Jepang, dampaknya tak berhenti pada korban jiwa. Lebih dari 12,3 juta orang berpotensi mengungsi, dengan 764 kota di 31 prefektur menghadapi guncangan kuat atau tsunami setinggi tiga meter.
Prefektur Shizuoka adalah yang terparah menurut prediksi tersebut, dengan lebih dari 100.000 korban tewas, sementara kota-kota besar seperti Tokyo dan Osaka tak luput dari ancaman.
Meski proyeksi korban sedikit menurun dari estimasi 2012, kerugian ekonomi melonjak menjadi 270 triliun yen—sebuah lonjakan akibat inflasi dan analisis dampak yang lebih akurat.
Jepang tak tinggal diam menghadapi ancaman ini. Pemerintah berencana merevisi strategi pencegahan bencana, memperluas zona evakuasi prioritas, dan membentuk badan khusus pada 2026.
Baca Prediksi Potensi Korban Gempa Jepang 100 Kali Lebih Banyak dari Bencana Sulteng 2018
Data ini menggarisbawahi bahwa evakuasi cepat adalah perbedaan antara hidup dan mati, sebuah pelajaran yang relevan bagi kita di Indonesia yang juga menghadapi ancaman serupa.
Gempa Terkini
Pada 28 Maret 2025, gempa berkekuatan 7,7 magnitudo mengguncang wilayah Sagaing, Myanmar, dengan episentrum hanya 16 kilometer dari Mandalay, kota terbesar kedua di negara itu.
Menurut United States Geological Survey (USGS), gempa ini terjadi pada kedalaman dangkal 10 kilometer, menyebabkan guncangan hebat yang merobohkan bangunan dan memicu kerusakan parah.
Data dari pemerintah militer Myanmar melaporkan lebih dari 3.840 kematian dan 4.760 cedera hingga 2 April 2025, dengan angka tersebut kemungkinan terus bertambah.
Reuters melaporkan bahwa dampaknya meluas hingga Thailand, di mana sebuah gedung bertingkat yang tengah kontraktor bangun di Bangkok runtuh, menewaskan sedikitnya 26 orang dan membuat ratusan lainnya hilang di bawah reruntuhan.
Gempa ini, yang merupakan yang terkuat di Myanmar sejak 1912, terjadi akibat pergeseran horizontal di Sesar Sagaing, sebuah patahan aktif yang membentang lebih dari 1.200 kilometer melintasi negara tersebut.
Laporan dari The New York Times menyebutkan bahwa getaran terasa hingga China bagian barat daya dan Vietnam, sementara setelahnya tercatat lebih dari 236 gempa susulan, termasuk tujuh dengan magnitudo antara 5,0 dan 5,9, menurut Thai Meteorological Department.
PBB mendesak bantuan segera sebelum musim monsun tiba, dengan kebutuhan mendesak akan air bersih, obat-obatan, dan tempat perlindungan.
UNICEF mencatat setidaknya 50 anak dan dua guru tewas akibat runtuhnya sebuah taman kanak-kanak di Mandalay, mempertegas urgensi respons kemanusiaan di tengah krisis perang saudara yang sudah ada.
Mengapa Gempa Terus Menghantui?

Gempa Yogyakarta pada 27 Mei 2006, misalnya, “hanya” berkekuatan 6,3—jauh lebih kecil daripada gempa di Aceh—namun tetap merenggut 5.700 nyawa karena terjadi di daratan padat penduduk dan pada kedalaman yang sangat dangkal.
Namun, gempa bukan hanya soal angka magnitudo. Dampaknya tergantung pada kedalaman, lokasi, dan kesiapan kita menghadapinya.
Seperti halnya kekuatan Guncangan gempa Magnitudo 7,4 yang melanda palu pada 28 September 2018 silam, setara dengan kekuatan Guncangan gempa Magnitudo 9,1 yang Pernah mengguncang Aceh dan Jepang pada 2011.
Berdasarkan Data Dari salah satu Stasiun Geologi Amerika (USGS) Kekuatan Guncangan Gempa magnitudo 7,4 Palu mencapai Skala MMI IX dan itu Setara dengan Skala MMI yang dirasakan di Aceh dan Jepang.
Di sepanjang Sumatra dan Jawa, subduksi Lempeng Indo-Australia ke bawah Eurasia menciptakan zona rawan yang telah melahirkan bencana seperti tsunami Aceh. Di tempat lain, seperti Lombok atau Palu, sesar geser menjadi biang keladi kehancuran.
Ketika lempeng-lempeng ini bergesekan atau saling menunjam, energi yang terpendam selama bertahun-tahun meledak dalam hitungan detik—itulah yang kita sebut gempa bumi.
Untuk memahami ancaman ini, kita perlu melihat ke bawah kaki kita—jauh ke dalam lapisan bumi. Indonesia terletak di pertemuan tiga lempeng tektonik raksasa: Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia, dan Lempeng Pasifik.
Sebaliknya, gempa laut dalam sering kali memicu tsunami yang memperluas jangkauan kehancuran, seperti yang kita lihat di Palu pada 2018.
Pelajaran dari Tragedi
Setiap gempa besar meninggalkan cerita dan pelajaran. Peristiwa di Aceh mengajarkan kita bahwa laut bisa menjadi musuh yang tak terduga. Pemerintah Indonesia pun membangun sistem peringatan dini tsunami, dan kini BMKG mengelola sistem tersebut.
Gempa Padang pada 30 September 2009, yang menewaskan lebih dari 1.100 orang, membuka mata kita tentang rapuhnya bangunan di kota-kota besar yang belum siap menghadapi guncangan.
Sementara itu, likuifaksi di Palu menjadi peringatan bahwa bencana tak selalu datang dalam bentuk yang kita prediksi—tanah yang kita anggap kokoh pun bisa mencair dan menelan segalanya.
Tragedi-tragedi ini bukan sekadar catatan sejarah yang kita tangisi. Mereka adalah panggilan untuk bertindak.
NOAA dan para ahli geologi sepakat bahwa aktivitas seismik di Indonesia tidak akan berhenti. Kita tidak bisa mencegah gempa, tapi kita bisa mengurangi luka yang gempa sebabkan.
Langkah untuk Masa Depan
Kesiapsiagaan bukanlah pilihan—ia adalah keharusan. Pertama, kita perlu membangun infrastruktur yang tahan gempa. Banyak negara seperti Jepang telah membuktikan bahwa gedung-gedung bertingkat, jembatan, dan rumah tinggal bisa kita rancang untuk menahan guncangan hebat.
Di Indonesia, pemerintah telah menerapkan standar konstruksi tahan gempa, tetapi tantangannya ada pada penegakan aturan ini, terutama di daerah pedesaan atau bangunan lama yang masih berdiri.
Kedua, kita harus terus memperkuat sistem peringatan dini. InaTEWS, yang lahir pasca-tsunami Aceh, adalah langkah besar, tapi distribusi informasi ke masyarakat di pelosok masih sering tersendat.
Pemasangan lebih banyak buoy laut. Alat deteksi di pantai rawan tsunami bisa menyelamatkan ribuan nyawa dengan memberi waktu, meski hanya beberapa menit untuk evakuasi.
Ketiga, pendidikan adalah kunci. Simulasi evakuasi di sekolah, kantor, dan kampung-kampung harus menjadi rutinitas, bukan acara seremonial tahunan.
Masyarakat harus memahami kemana mereka mengungsi saat gempa menuju zona aman yang ditetapkan pemerintah, bukan panik dan berlarian tanpa arah.
BNPB telah menggagas program “Sekolah Aman Bencana” sebagai langkah edukatif positif, namun pemerintah perlu memperluas program ini banyak komunitas.
Terakhir, pemerintah harus menegakkan kebijakan secara tegas. Mereka harus memberlakukan regulasi bangunan tahan gempa sekaligus menjatuhkan sanksi kepada pihak yang melanggarnya.
Pemerintah daerah juga perlu menyediakan peta risiko dan zona evakuasi yang jelas, bukan hanya dokumen yang teronggok di laci kantor.
Saatnya Bergerak
Gempa tak pernah memberi peringatan. Ia datang tanpa salam, tanpa permenit-menit untuk kita bersiap. Tapi kita punya kekuatan yang tidak alam miliki: kemampuan untuk belajar, beradaptasi, dan bertindak.
Masa lalu telah memberikan kita cukup pelajaran—dari Aceh hingga Palu, dari Yogyakarta hingga Lombok. Pertanyaannya bukan lagi “kapan gempa berikutnya akan datang,” tetapi “apakah kita sudah siap saat itu tiba?”
Kita tidak bisa menyalahkan lempeng bumi yang terus bergerak, karena itulah cara planet ini hidup. Tapi kita bisa menyalahkan diri sendiri jika tidak melakukan apa-apa.
Untuk anak-anak kita, untuk rumah yang kita bangun, untuk komunitas yang kita cintai—mari jadikan kesiapsiagaan sebagai bagian hidup kita. Karena di atas tanah yang tak pernah diam ini, masa depan kita tergantung pada langkah yang kita ambil hari ini.
TIM REDAKSI HAWA