“Negara bukan hanya tentang merancang anggaran, tapi juga mengingat apa yang hilang.”
— Sebuah catatan lama dari ruang sidang Tipikor
Pada akhir Mei 2025, ruang konferensi pers Kementerian Keuangan terasa lebih sunyi dari biasanya. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berdiri di balik podium, menyampaikan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mencatat defisit sebesar Rp21 triliun. Di saat yang hampir bersamaan, Kejaksaan Agung mengumumkan penyitaan Rp11,8 triliun dari kasus korupsi ekspor minyak kelapa sawit. Dua angka yang besar. Dua panggung yang berbeda. Namun entah bagaimana, keduanya seperti berpantulan di dalam satu neraca negara.
HAWA mencatat bahwa defisit APBN Rp21 triliun setara dengan 0,09% dari Produk Domestik Bruto. Angka ini mencolok karena hanya sebulan sebelumnya, April 2025, neraca negara masih mencatat surplus Rp4,3 triliun. Keseimbangan yang goyah itu terjadi di tengah upaya keras pemerintah menjaga stabilitas fiskal dan menyalurkan belanja negara sebesar Rp1.016 triliun, terutama melalui belanja pusat dan transfer ke daerah.
Di Antara Dua Kutub: APBN dan Aset Disita
Dari meja fiskal ke meja hijau, perhatian publik berpindah ke Gedung Bundar Kejaksaan Agung. Lima perusahaan di bawah Wilmar Group, yang sempat bebas oleh pengadilan, kini tercatat telah mengembalikan Rp11.880.351.802.619 sebagai bentuk pemulihan kerugian negara. Uang ini berasal dari korupsi ekspor CPO tahun 2022, salah satu kasus besar di sektor kelapa sawit Indonesia.
Sutikno, Direktur Penuntutan Kejagung mengumumkan penyitaan ini, sebagai langkah akuntabilitas yang langka dari sektor korporasi.
“Bahwa dalam perkembangan lima terdakwa korporasi tersebut mengembalikan uang kerugian negara…,” ujarnya dalam pernyataan resmi.
Namun demikian, uang itu tak serta-merta menutup lubang fiskal. Penyitaan tersebut tidak langsung masuk dalam struktur pendapatan APBN, melainkan menunggu proses hukum final di tahap kasasi. Lalu, siapa yang menghitung kesenjangan waktu antara hilangnya uang dan kembalinya dana?
Angka yang Bergerak, Realitas yang Tetap
Jika kita melihat data dari Kementerian Keuangan, pendapatan negara per Mei 2025 mencapai Rp995,3 triliun, terdiri dari penerimaan pajak, bea cukai, dan pendapatan negara bukan pajak. Namun kebutuhan belanja negara tak menunggu, ia berjalan dengan kecepatan politik dan tekanan sosial. Keseimbangan menjadi ilusi yang harus bertahan dalam bahasa angka, bukan dalam rasa cukup.
Dalam keadaan seperti ini, penyitaan dari kasus korupsi bisa terasa seperti tetes air di tengah panas anggaran. Tidak cukup untuk menutup semuanya, tapi terlalu signifikan untuk diabaikan. Sulit untuk tidak merasa terusik melihat bagaimana negara terus memutar ulang siklus kehilangan dan pengembalian.
Defisit APBN Rp21 Triliun dan Penyitaan Aset Negara di Tengah Ketidakpastian Fiskal
Mungkin pertanyaannya bukan lagi seberapa besar defisit atau penyitaan beberapa nilai. Mungkin yang lebih mendalam adalah: bagaimana negara mengatur jarak antara kehilangan dan keadilan? Dan apakah publik cukup kuat untuk terus mengingat bahwa setiap triliun punya sejarah?
Sementara pencatatan dan pengumuman angka-angka terus berlangsung, dalam jeda antara pengeluaran dan pemasukan, mungkin tersimpan satu pertanyaan: berapa lama negara harus menambal lubang yang dibuat oleh tangannya sendiri?