JAKARTA, HAWA.ID – Pengadilan di semakin melonggarkan aturan beda agama. Setelah sebelumnya di Surabaya, Yogyakarta, Tangerang, dan Jakarta Selatan, kini giliran Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) yang mengizinkan beda agama.

Keputusan ini didasarkan pada Undang-Undang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) dan pertimbangan sosiologis mengenai keragaman masyarakat.

Dalam putusan yang dikutip oleh detikcom pada Jumat (23/6/2023), diketahui bahwa calon mempelai pria, JEA, adalah seorang penganut Kristen, sementara calon mempelai wanita, SW, adalah seorang muslimah.

Mereka telah menjalin hubungan selama 10 tahun dan memutuskan untuk melanjutkan ke jenjang .

Upacara pernikahan dilangsungkan di sebuah gereja di Pamulang dengan kehadiran orang tua kedua mempelai. Namun, saat mereka hendak mendaftarkan pernikahan ke Dinas Catatan Sipil Jakarta Pusat, permohonan mereka ditolak karena perbedaan agama.

Oleh karena itu, mereka mengajukan permohonan kepada PN Jakpus untuk mendapatkan izin, dan permohonan tersebut dikabulkan.

“Hakim tunggal Bintang AL memberikan izin kepada para pemohon untuk mencatatkan perkawinan beda agama di Kantor Suku Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Jakpus,” demikian tertulis dalam putusan tersebut.

Hakim Bintang AL menjelaskan bahwa putusan tersebut sesuai dengan Pasal 35 huruf a UU 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan.

Selain itu, putusan tersebut juga didasarkan pada putusan Mahkamah Agung Nomor 1400 K/PDT/1986 yang mengabulkan permohonan kasasi terkait izin pernikahan beda agama.

Hakim Bintang AL berpendapat bahwa perkawinan antar agama secara obyektif sosiologis adalah wajar dan sangat memungkinkan terjadi mengingat letak geografis , heterogenitas penduduk , dan keberadaan berbagai agama yang diakui secara sah di Indonesia.

“sangat ironis apabila perkawinan beda agama tidak diperbolehkan di Indonesia karena tidak diatur dalam undang-undang,” ungkap hakim Bintang AL.

Pandangan Islam

Di sisi lain, dalam konteks perkawinan beda agama, fatwa MUI dapat memberikan panduan kepada umat terkait syarat-syarat, prosedur, atau implikasi dari perkawinan semacam itu.

Kompilasi Hukum Islam (KHI): KHI mengatur aspek-aspek hukum dalam agama Islam di Indonesia. Kompilasi Hukum Islam mengatur ketentuan-ketentuan terkait perkawinan dalam agama Islam, termasuk larangan bagi seorang laki-laki untuk menikahi seorang perempuan yang tidak beragama Islam.

Dosen UIN Sunan Kalijaga, Prof. Euis Nurlaelawati memberikan pandangan mengenai KHI tersebut, menurutnya perkawinan merupakan ibadah atau mengandung unsur ibadah sehingga perkawinan beda agama dapat dikatakan tidak membawa kemaslahatan dan justru sebaliknya.

“Sesuai dengan kaidah fiqih yang berbunyi dar’u al-mafâsid muqaddamun ‘alâ jalb al-mashâlih, Kemudaratan dari perkawinan beda agama ini justru dianggap masih lebih besar sehingga penghindaran atau menutupnya dipandang menjadi pilihan utama,” ujar Dosen Syari’ah dan Hukum Guru Besar dalam Bidang Ilmu Hukum Islam itu.

Sependapat dengan Khairunnas Rajab selaku Profesor Psikologi Agama, yang juga merupakan Rektor Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau menyampaikan hal serupa.

Menurutnya, solusi terkait pernikahan beda agama hanya dapat dilakukan dengan konversi agama. Sehingga pernikahan dapat dilakukan sesuai agama yang sudah disatukan oleh keyakinan yang sama.

Hal tersebut ia sampaikan dalam sidang lanjutan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pada Kamis (11/8/2022).

Khairunnas berpendapat cinta hanyalah emosi sesaat yang mungkin saja dapat mengalahkan hal yang prinsip. Namun cinta dapat pula berubah karena hal yang prinsip, seperti sakralitas dari agama itu sendiri.

Ia mengungkapkan bahwa kesehatan mental seseorang terkait dengan keyakinan agama, dan pernikahan beda agama dapat menimbulkan sengketa hati dan pikiran, rentan terhadap perpecahan, dan keresahan mendalam.

Dalam konteks perkawinan beda agama, syariat maupun aturan tiap-tiap Agama dapat memberikan panduan kepada umat terkait syarat-syarat, prosedur, atau implikasi dari perkawinan semacam itu.

Namun, keputusan akhir terkait perkawinan beda agama biasanya berada di bawah yurisdiksi peraturan hukum yang berlaku, seperti Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum termasuk Hukum Islam, serta keputusan pribadi yang diambil oleh individu yang terlibat dalam perkawinan tersebut.*/LIA