Risiko perjalanan antarpulau menggunakan moda transportasi laut, seperti speedboat atau perahu motor selalu dihadapinya. Badai kerap mengadang perjalanan. Belum lagi jalan darat di malam hari di tengah gulita tanpa penerangan listrik. Ditambah lagi , Dini jugaa harus membawa kebutuhan makanan pokok untuk asupan gizi anak–anak penyandang disabilitas yang dia layani.
“Jika dikalkulasi sudah lebih dari Rp4,2 miliar yang saya kucurkan untuk membantu kaum disabilitas dan marjinal di Maluku. Tapi ini bukan soal seberapa besar uang yang dihabiskan, ini soal misi kemanusiaan ini yang harus terus berlanjut sepanjang hayat di kandung badan,” tutur Dini.
Lantas adakah dukungan pemerintah daerah? Itulah yang menjadi perhatian dari orang-orang yang mendukung aksi kemanusiaan Dini. Tak hadirnya negara dalam persoalan kemanusiaan di kepulauan, terasa pula oleh Dini dan tim CCI, namun Dini tidak ingin mempolitisir pelayanan kemanusiannya.
Pasal 34 UUD 1945 seolah tak punya tuah. UU Nomor 13 Tahun 2011 tentang Fakir Miskin berujud di Kepulauan. UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas pun tak sakti. Di pulau pulau terluar Maluku, bicara tentang pendidikan bagi anak-anak penyandang disabilitas seperti bicara tentang akan pergi jalan jalan ke Mars, terlalu jauh. Kebutuhan dasar sandang pangan dan kesehatan dasar anak-anak penyandang disabilitas ini belum terpenuhi.
Padahal diktum hukum negara itu sudah menjelaskan posisi kaum fakir miskin dan disabilitas, dan bagaimana negara harus terlibat mengurusi mereka.
Saat ini, ada Dini, yang berkeliling ke pulau pulau terluar Maluku itu untuk memberikan pelayanannya, tapi apa yang dilakukan Dini seharusnya menjadi perhatian para pengelola negara yang menjalankan mandat Undang-undang.
Seperti Florence yang sadar benar, bahwa ia tak bisa bekerja sendiri. Dukungan dari Kerajaan diperlukannya untuk memastikan apa yang sudah dirintisnya menjadi kebijakan yang menyeluruh.
Dini juga sadar, apa yang sudah dia mulai dengan penuh perjuangan di pulau-pulau terluar Maluku, perlu dilanjutkan oleh pengelola negara.
Negara sudah punya kebijakan dan dasar hukumnya. Itu agar beragam aturan perundangan itu tak cuma menjadi dokumen kosong tanpa implementasi. *