Matahari terik siang itu menyinari halaman Lapas Perempuan Palu. Di sebuah sudut, tangan-tangan sibuk menganyam tali kur menjadi tas jinjing yang cantik. Salah satu di antaranya adalah tangan Nofika yang cekatan mengikat dan menarik tali kur yang sudah hampir terbentuk sebuat tas jinjing cantik berwarna coklat muda. Nofika, warga binaan (Wabin) di lapas perempuan yang kini menjahit bukan hanya kerajinan rajutan, tapi juga harapan.

Laporan : Kartini Nainggolan

Kisah Nofika bukan sekadar cerita seorang mantan karyawan yang terjerat karena keterpurukan ekonomi pasca . Ia mewakili ribuan perempuan penyintas yang hidup di tengah bayang-bayang dan kekerasan, namun bangkit dengan semangat baru untuk membangun kembali diri dan komunitasnya.

Pada 2018, gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi mengguncang Sulawesi Tengah (Sulteng) dan memporak-porandakan Palu, Sigi, dan Donggala. Tak hanya nyawa dan rumah yang hilang, tetapi juga dan kesejahteraan ribuan perempuan yang menjadi lebih rentan terhadap kekerasan berbasis gender.

Data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI-PPA) mencatat, antara Januari 2022 hingga Januari 2023, terdapat 664 kasus kekerasan terhadap perempuan di Sulteng. Kota Palu mencatatkan jumlah kasus tertinggi, diikuti oleh Buol, Poso, Parigi Moutong, dan Sigi yang juga melaporkan angka tinggi. Angka-angka ini mencerminkan kerentanan yang meningkat dalam situasi pascabencana.

Nofika, salah satu dari mereka, sempat terjerat dalam lingkaran gelap keputusasaan. Namun hari-harinya menjadi Wabin di Lapas Perempuan tidak ia habiskan dengan penyesalan. Ia memilih bangkit, belajar, dan membentuk komunitas. Bersama para warga binaan lainnya, ia mengembangkan Suka Rajut kelompok kewirausahaan perempuan yang tak hanya menghasilkan karya, tapi juga membentuk karakter dan kepercayaan diri.

“Kami sering berkumpul di barak, di gereja, atau di mana saja di dalam lapas. Saat kami membuat rajutan, kami saling berbagi cerita, saling menguatkan, dan bahkan saling mengingatkan agar bisa menjalani hidup yang lebih baik ke depan,” ucap Nofika sembari melanjutkan rajutannya.

Lebih dari sekadar menyalurkan keterampilan, Suka Rajut menjadi wadah penyembuhan dan penguatan mental. Mereka saling menguatkan, berbagi cerita, dan merangkai kembali kepercayaan diri. Mereka sadar bahwa stigma sebagai mantan narapidana akan menjadi tantangan besar ketika kembali ke masyarakat.

“Intinya, kami di sini sudah siap. Kami punya bekal, bukan cuma keterampilan, tapi juga kepribadian,” kata Nofika mantap.

Menyadari pentingnya keberlanjutan lingkungan, terutama di daerah rawan , komunitas ini juga aktif mengolah sampah plastik menjadi kerajinan bernilai ekonomi. Ini adalah bentuk kontribusi kecil tapi bermakna untuk menjaga alam. FOTO : KARTINI NAINGGOLAN

Mengolah Sampah Plastik untuk Menjaga Alam

Namun, upaya mereka tidak berhenti di situ. Menyadari pentingnya keberlanjutan lingkungan, terutama di daerah rawan bencana, komunitas Wabin di Lapas Perempuan ini juga aktif mengolah sampah plastik menjadi kerajinan bernilai ekonomi. Bagi Nofika dan kawan-kawannya, ini adalah bentuk kontribusi kecil tapi bermakna untuk menjaga alam yang telah memberi banyak pelajaran.

Buku catatan keberhasilan mereka kini semakin tebal. Perempuan yang terpuruk kembali berdiri tegak dengan karya, membuktikan hal itu melalui aneka kerajinan tangan dari limbah plastik yang telah mereka buat dan jual.Tak hanya itu, Nofika juga turut dalam kegiatan keagamaan dan pembinaan , menjadikan masa hukumannya sebagai fase pertumbuhan spiritual dan mental.

Sebentar lagi, ia akan menjalani reintegrasi sosial. Tapi ia tak datang ke masyarakat dengan tangan kosong. Ia membawa mimpi besar, mendirikan Rumah Karya sebuah galeri dan ruang kreatif di kawasan wisata Danau Poso, tempat perempuan bisa belajar keterampilan, berbagi cerita, dan saling menguatkan.

“Di dalam lapas ada Suka Rajut, setelah bebas nanti saya akan lanjutkan jadi Rumah Karya. Saya ingin tempat ini menjadi ruang aman dan produktif bagi perempuan.”ujarnya.

Dengan modal keyakinan dan tekad, Nofika membuktikan bahwa masa lalu bukan penentu masa depan. Bahwa di balik luka bencana dan jeruji besi, ada peluang untuk bangkit, menyembuhkan, dan menginspirasi. Ia ingin menjadi pengingat bahwa setiap perempuan, dalam kondisi apapun, punya kekuatan untuk bangkit dan memimpin perubahan.

“Saya ingin buktikan bahwa mantan napi bisa sukses, bisa bermartabat, dan bisa berkontribusi untuk masyarakat,” tutupnya, penuh semangat.

Nonce (50), warga binaan di lapas tersebut, menceritakan bahwa ia tidak ingin masa hukuman yang telah dijalani selama dua tahun sembilan bulan menjadi akhir dari segalanya. Vonis sembilan tahun atas kasus peredaran narkotika tidak membuatnya terpuruk sepenuhnya.

Terjerat kasus karena tekanan ekonomi sebagai tunggal, Nonce memilih menata ulang hidupnya dari balik jeruji besi.

“Saya belajar banyak hal di sini,” kata Nonce siang itu, Rabu (12/3/2025), menunjuk tas rajut hasil tangannya.

“Puji Tuhan, sudah satu tahun lebih saya bikin tas. Sudah banyak yang laku. Bahkan ada pengunjung yang pesan.” Tambahnya dengan senyum penuh kebanggaan.

Nonce mengakui bahwa hal utama yang harus ia persiapkan Ketika bebas nanti, selain keterampilan yaitu mental menghadapi stigma negatif dari masyarakat di luar sana. Nonce bahkan berharap, ia mampu menghadapi tekanan tersebut untuk bisa siap menjalani kesempatan kedua yang Tuhan berikan.

Kami tidak sekadar menjalani masa hukuman di sini, tapi kami saling menguatkan dan mengingatkan bahwa kesalahan yang kami lakukan sebelumnya bukanlah tanpa alasan. Kami ingin memperbaiki diri, saling mengingatkan, dan menguatkan agar kami bisa kembali menata hidup saat keluar dari Lapas,” ujarnya.

Sementara itu, di luar tembok lapas, ada Bella (36), perempuan yang pernah menghabiskan lima tahun hidupnya menjadi Wabin di Lapas Perempuan Kelas III Palu karena kasus serupa. Bebas pada Juli 2023, Bella sempat bekerja sebagai buruh tambang di Morowali Utara sebelum memutuskan pindah ke Bunta dan membangun kehidupan baru bersama suaminya.

Kondisi ekonomi memaksa Bella terlibat dalam jaringan Narkoba yang membawanya hingga ke jeruji besi tahun 2018, dan akhirnya menjadi Wabin di Lapas Perempuan Palu selama lima tahun. Bella resmi bebas pada tahun 2023.

Meski telah meninggalkan pekerjaan lamanya, Bella tidak pernah benar-benar berhenti berkontribusi. Ia aktif dalam komunitas buruh perempuan di tempat tinggal barunya.

“Setelah saya ikut suami di Bunta, saya sudah tidak terlalu aktif lagi di komunitas jemaat di gerejaku. Tapi di tempat baru saya punya komunitas buruh Perempuan,” kata Bella dengan senyum yang ramah, mengingat awal mula ia terjun ke dalam kegiatan sosial ini.

Bella percaya bahwa kemandirian finansial adalah kunci untuk lepas dari lingkaran kekerasan dan ketergantungan, terutama bagi perempuan kepala keluarga. Melalui komunitas, ia berbagi pengalaman, dan memotivasi perempuan lain agar berani menghadapi hidup.

Ia juga memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan pesan-pesan penguatan. Dalam setiap unggahannya, Bella tak segan membagikan kisah hidupnya, dari kesalahan masa lalu hingga keberanian untuk bangkit. Ia dengan jujur terkadang bercerita tentang kondisi di dalam penjara, bahwa meski kehidupan sebagai warga binaan di Lapas Perempuan penuh dengan berbagai kegiatan dan pelatihan, banyak hal yang tetap tidak bisa mereka dapatkan. Salah satunya adalah kebebasan untuk berkumpul dengan keluarga dan teman-teman. Ia menggambarkan bagaimana tekanan batin yang dialami saat tidak bisa berinteraksi bebas dengan orang terdekat.

“Saya bilang sama teman-teman, kalau di penjara itu memang kita banyak kegiatan dan dapat keterampilan. Tidak seperti yang dorang (mereka) bayangkan kalau penjara itu kumuh, orang-orangnya tidak terurus begitu, tersiksa. Tapi, saya selalu ingatkan dorang jangan sampe (sampai) kamu masuk ke dalam situ, karena batin kita tertekan tidak bisa ketemu keluarga dan bisa bebas ke mana-mana,” jelas Bella.

Bella percaya bahwa ketika perempuan saling mendukung, mereka bisa mencapai lebih banyak hal daripada jika mereka berjalan sendiri. Kekuatan komunitas ini tidak hanya memberikan semangat, tetapi juga membuka banyak peluang yang sebelumnya mungkin tidak terpikirkan.

Direktur LIBU Perempuan Sulteng, Dewi Rana Amir (Kiri) saat mendampingi perempuan penyintas bencana Palu, Sigi, dan Gonggala untuk memperjuangkan hak-haknya. FOTO : MUGNI

Perempuan, Bencana, dan Upaya Membangun Resiliensi

Direktur Perkumpulan Lingkar Belajar Untuk Perempuan (LIBU Perempuan) Sulteng Dewi Rana Amir, menyebutkan bahwa pasca bencana, provinsi ini menghadapi tantangan serius dalam hal kekerasan terhadap perempuan dan anak. Ketidakamanan ekonomi, ketegangan sosial, dan trauma kolektif menjadi pemicu utama. Salah satu fenomena yang mencuat adalah meningkatnya kasus perkawinan anak, banyak di antaranya berakhir dengan kekerasan dalam rumah tangga.

“Kami menemukan banyak kasus perkawinan anak, usia 13 hingga 17 tahun. Sebagian karena kehamilan di luar nikah, sebagian lagi karena kehilangan dalam bencana. Tapi hampir semua berujung pada kekerasan dalam rumah tangga,” ujar Dewi.

Bagi perempuan, kerentanan pasca-bencana seringkali bertumpuk, mulai dari kehilangan sumber penghidupan, tekanan untuk menjadi pencari nafkah utama, hingga resiko pernikahan dini yang justru semakin memperkuat siklus kekerasan.

“Banyak kasus terjadi ketika anak dinikahkan, berharap anaknya bisa mandiri, apalagi setelah kehilangan anggota keluarga atau mengalami krisis ekonomi akibat bencana,” jelas Dewi. Sayangnya, keputusan itu justru memperburuk kondisi, menciptakan siklus baru ketidakadilan dan ketimpangan gender.

LIBU Perempuan bersama berbagai organisasi masyarakat sipil melakukan pendampingan terhadap perempuan korban kekerasan dan anak-anak korban perkawinan usia dini. Mereka menyediakan ruang aman, konseling, pelatihan keterampilan, dan edukasi tentang hak-hak perempuan. Dalam banyak kasus, kekuatan komunitas menjadi benteng pertama dalam menghadapi dampak pascabencana.

Sulawesi Tengah masih menyimpan luka. Gempa, tsunami, dan likuifaksi yang menghantam Palu, Sigi, dan Donggala merenggut lebih dari 4.000 jiwa dan menghancurkan ribuan rumah. Namun bencana alam itu juga membuka lapisan-lapisan lain dari kerentanan sosial.

Kepala Lapas Perempuan Palu, Udur Martionna, tidak menutup-nutupi realitas pahit yang menjadi latar belakang mayoritas penghuninya. Data terkini menunjukkan bahwa dari 187 wabin di Lapas Perempuan Palu, 140 orang terjerat kasus narkoba.

Namun lembaga ini bukan hanya tempat menampung kesalahan. Sejak awal masa hukuman, para wabin mendapatkan pembinaan intensif, mulai dari pembinaan dalam aspek dan kepribadian hingga pelatihan keterampilan seperti tata rias, boga, laundry, hingga pembuatan tas rajut. Ini adalah upaya membekali mereka dengan keterampilan yang bisa menjadi modal hidup mandiri setelah bebas.

“Pelatihan keterampilan itu penting, karena saat mereka keluar, mereka harus bisa berdiri sendiri. Tidak semua dari mereka punya keluarga yang siap menerima kembali,” kata Udur Rabu (12/3/2025).

Meski dengan sumber daya yang terbatas, pembinaan tetap berjalan. Bahkan, antar wabin saling berbagi ilmu dan saling menguatkan.

Udur menceritakan kisah-kisah solidaritas yang terjadi antar wabin di Lapas perempuan. Ada tiga wabin yang membawa serta balita ke dalam lapas. Alih-alih dijauhi, ibu-ibu ini justru mendapat dukungan dari sesama penghuni. Mereka terkadang membantu membeli susu, popok, dan kebutuhan lainnya. Semangat kolektif inilah yang menjadi pondasi penting dalam proses reintegrasi sosial.

Setelah masa hukuman berakhir kata Udur, proses baru dimulai. Para mantan wabin akan menjalani pembebasan bersyarat dengan pengawasan dari Balai Pemasyarakatan (Bapas) Palu.

“Pembebasan bersyarat ini adalah kesempatan bagi mereka untuk menjalani kehidupan baru, dengan pengawasan dari Bapas,” ujar Udur.

Meskipun sudah ada program pembebasan bersyarat dan pengawasan yang ketat, tantangan terbesar tetap ada stigma masyarakat terhadap mantan napi perempuan sangat kuat. Banyak orang seringkali menganggap mereka tidak layak mendapat kesempatan kedua.

“Masyarakat seringkali menilai mereka dari masa lalu mereka, bukan melihat potensi yang mereka miliki setelah mereka bebas,” jelas Udur.

Banyak dari mantan napi yang merasa kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan setelah keluar dari lapas. Kondisi ini berpotensi memicu residivisme, atau kembali melakukan tindak kejahatan karena tidak ada tempat untuk kembali atau sumber daya yang cukup untuk membangun kehidupan yang baru.

Udur berharap Bapas terus memberikan pembinaan yang berkelanjutan dan masyarakat mendukung mantan narapidana perempuan agar mereka benar-benar mendapatkan kesempatan untuk berubah.

Kepala Bapas Kelas I Palu, Hasrudin, S.Sos, M.A.P., menjelaskan bahwa mereka tidak hanya mengawasi, tetapi juga membimbing agar para mantan napi benar-benar siap kembali ke masyarakat.

Pembinaan meliputi pembentukan kepribadian, keagamaan, dan peningkatan keterampilan. Lebih dari itu, Bapas juga menjalin kerja sama dengan kelompok masyarakat dan pemerhati sosial agar stigma terhadap eks napi perempuan bisa dikikis.

Salah satu tujuan utama sistem pemasyarakatan, menurut Hasrudin, adalah mengembalikan hubungan yang retak antara individu dan masyarakat serta memperbaikinya.

Selain itu, Bapas juga bekerja sama dengan Pokmas (Kelompok Masyarakat), serta berbagai pemerhati sosial lainnya, untuk menghilangkan stigma negatif terhadap mantan narapidana. Kerja sama ini diharapkan dapat menciptakan suasana yang lebih mendukung bagi mereka untuk diterima kembali oleh masyarakat.

“Kami ingin membuktikan bahwa setiap orang layak mendapat kesempatan kedua,” ujar Hasrudin Senin (24/3/2025).

Data dari Bapas mencatat bahwa dari 1.558 orang yang dalam pengawasan, 1.109 telah bekerja, termasuk 59 perempuan. Banyak dari mereka bekerja mandiri atau di perusahaan lokal.

Bapas juga tengah mengembangkan aplikasi berbasis komunitas, yang memungkinkan masyarakat ikut memantau dan mendukung proses reintegrasi mantan napi. Aplikasi ini diharapkan bisa menjadi jembatan untuk mempertemukan masyarakat dengan para penyintas melalui sistem peradilan pidana ini.

Sementara itu, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Kanwil Ditjen Pas) Sulteng, Bagus Kurniawan, menegaskan pentingnya perlindungan dan pendekatan lintas sektor. Ia menyoroti bahwa banyak napi perempuan hanyalah kurir narkoba yang mendapat bayaran rendah.

Selain itu, masyarakat dan pemerintah perlu memberikan perhatian kepada perempuan yang bercerai karena masuk penjara. Banyak narapidana perempuan harus menghadapi kenyataan pahit ketika suami mereka meninggalkan mereka saat menjalani hukuman. Dalam situasi ini, negara harus menetapkan regulasi dan menyediakan dukungan sosial agar mereka tetap mendapatkan perlindungan hak serta memiliki kesempatan untuk bangkit setelah menyelesaikan masa tahanan.

Bagus menekankan bahwa dukungan terhadap mantan napi tidak cukup dari negara. Diperlukan keterlibatan masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah daerah. Salah satu strategi yang dianggap penting adalah pemberdayaan ekonomi perempuan dan pendampingan psikososial.

Pendiri Yayasan Sikola Mombine, Mutmainah Korona saat mendatangi langsung Hunian sementara penyintas bencana di Mamboro. Mutmainah datang untuk mendengarkan langsung cerita-cerita para perempuan penyintas yang merasa tidak mendapatkan keadilan. FOTO : DOK MUTMAINAH KORONA

Jadi Brand Ambassador Program Pemasyarakatan

Mutmainah Korona, pendiri Yayasan Sikola Mombine, memperkuat narasi ini. Ia menyatakan bahwa peran ganda yang dibebankan pada perempuan seringkali menjadi awal dari kriminalisasi terhadap mereka.

“Ketika ekonomi keluarga goyah, perempuan jadi tumpuan terakhir. Ini membuka celah keterlibatan dalam tindakan ilegal karena keterpaksaan,” katanya, Selasa (25/3/2025).

Ia mengusulkan agar pihak berwenang tidak hanya memberikan pelatihan kepada mantan napi perempuan, tetapi juga memberikan mereka akses ke pekerjaan nyata. Ia bahkan menyarankan untuk mengangkat mereka sebagai brand ambassador untuk program pemasyarakatan. Ini bukan hanya strategi kampanye, tetapi juga langkah konkret membalikkan stigma menjadi inspirasi.

Pada akhirnya, proses pemasyarakatan bukan semata perkara menjalani hukuman. Ini adalah perjalanan panjang menuju pemulihan, perbaikan, dan pengakuan kembali sebagai bagian dari masyarakat. Lapas dan Bapas mungkin adalah panggung awalnya, tetapi peran terbesar tetap ada di tangan masyarakat.

Menurut Mutmainah, seseorang membangun resiliensi bukan secara instan, melainkan melalui keberanian menghadapi luka dan kemauan belajar dari kesalahan. Apalagi bila sistem yang seringkali tidak berpihak pada perempuan, terutama mereka yang pernah berhadapan dengan hukum atau berasal dari kelompok rentan.

Nofika, Nonce, Bella dan Perempuan-perempuan penyintas lainya adalah simbol dari harapan untuk kembali bangkit. Mereka bukan hanya penyintas, tapi juga pemimpin dalam kapasitasnya masing-masing. Mereka membawa pesan penting dari balik jeruji besi ke tengah komunitas, bahwa mereka bisa membangun perdamaian bukan hanya di ruang-ruang politik, tetapi juga di dapur, di ruang pembinaan, di ruang menjahit, di komunitas kecil, dan dalam pelukan solidaritas sesama perempuan.***

Tulisan ini adalah Fellowship liputan Empower Women for sustainable peace yang dilaksanakan oleh UN Women dann Aliansi Jurnalis Independen (AJI)