Pukul 11 siang hari, Sabtu, 10 September 2022, terik matahari menyengat hingga ke kulit. Tepian danau Poso, desa Meko, berjejeran tumpukan batu yang telah dipecah-pecah.

Di pondok kecil berukuran 1 x 1 meter berjarak 500 meter dari bibir danau, Margareta, 43 tahun, bisa berlindung dari teriknya mata hari ketika memecahkan batu-batu.

Raut wajah Wanita yang bekerja sebagai pemecah batu itu terlihat Lelah. Bermodalkan palu batu atau martil kecil, selama berbulan-bulan Margareta memecah batu untuk bisa mendapatkan uang sebesar Rp 250 ribu.

“Selama dua minggu saya kumpul batu dari danau. Setelah itu di toki (Dipukul)  supaya hancur batunya. Dua minggu biasa dapat satu kubik batu pecah. Kalau dijual, nanti dua sampai enam bulan laku karena menunggu pembeli. Kalau dijual Rp250 ribu per kubik,” katanya sembari terus mengayunkan palu ke arah batu.

Ratusan warga Tentena, Kabupaten Poso menjadi korban kerusakan lingkungan akibat akivitas uji coba pintu air PLTA Poso I perusahaan PT. Poso yang dilakukan sejak tahun 2019. Air danau Poso kini menggenangi lahan perkebunan warga sekitar danau.

Menjadi tulang punggung keluarga sejak suaminya tidak mampu lagi bekerja karena sakit. Margareta kini harus pasrah, ketika cita-cita yang digantungkan kepada anak lelakinya harus pupus,tidak ada biaya untuk melanjutkan kuliah.

“Sudah tiga tahun sejak sawah terendam anak saya yang ke 2 putus kuliah. Tidak ada dana. Sebelumnya lancar kuliah, sekarang bantu-bantu saya kerja cari batu,” kata Margareta ketika berkeluh kesah.

Tiga tahun sudah Margareta warga desa Meko, kecamatan Pamona Barat, kabupaten Poso, (Sulteng) terpaksa menjadi pemecah batu karena sawahnya terendam.

Sawah seluas 2 hektare tidak lagi bisa ditanami karena terendam air danau. Padahal sejak bertahun-tahun, hasil dari sawah digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup, termasuk membiayai sekolah anak-anaknya.

Cita-cita anak kedua Margareta harus pupus ditengah jalan, orang tuanya tidak memiliki uang untuk membayar kuliah. Sebelumnya, anak ke dua Margareta melanjutkan kuliah pelayaran di Jakarta. Setelah sawah terendam, dan tak ada lagi sumber pendapatan, anaknya memilih pulang kampung ke Poso. Kini anak Margareta hanya bisa pasrah dengan kondisi keuangan orang tuanya dan ikut membantu Ibunya bekerja menjadi pemecah batu di desa Meko.

Dulu sebelum terendam, 2 hektare sawah milik Margareta, bisa menghasilkan hingga 50 karung gabah setiap musim panen. Hasil yang diperolah itulah yang digunakan untuk membiayai hidup, termasuk bisa menyekolahkan anak.

Namun sekarang, Margareta harus banting tulang menjadi perempuan pemecah batu hanya untuk mengisi perut keluarga, apalagi suaminya yang tidak lagi bisa bekerja karena kondisi tubuh yang sakit.

Margareta terpaksa menerima kompensasi dari perusahaan yang nilainya tidak sebanding dengan hasil sawah bila digarap. Dia ‘dipaksa’ kalah karena urusan perut yang tetap harus terisi dan utang yang harus dilunasi.

Sebelumnya, Margareta bersama warga Meko lainnya menuntut kompensasi ganti rugi ke perusahaan 40 kg per are, tapi tidak terpenuhi. Perusahaan hanya bisa memberikan kompensasi 10 kg per are. Warga terpaksa menerima karena sudah terdesak kebutuhan hidup, dan terlili utan.

Bahkan pemerintah desa juga meminta pihak Bank tempat meminjam uang, untuk memberikan dispensasi waktu pelunasan, mengingat Sebagian tidak lagi berpenghasilan pasca lahannya terendam.

Kepala Desa (Kades) Meko, I Gede Sukaartana bercerita bahwa Desa Meko yang berdiri sejak tahun 2004 dengan jumlah penduduk 860 Kelapa Keluarga (KK) menggantukan hidupnya dengan bertani.

“95 persen warga Desa Meko menjadi sawah dan kebun. Akibat akifitas uji coba pintu air PLTA Poso I perusahaan PT. Poso , 96 Hektar sawah terendam sehingga warga tidak bisa bertani,” kata Gede, Sabtu (10/9/2022).

Menurutnya, sudah sejak tiga tahun terakhir warga tidak lagi bertani karena debit air danau Poso tidak pernah surut. Padahal jika melihat pasang surut air, seharusnya di bulan September ini warga sudah menanam.

“Kalau berdasarkan siklus tahunan pasang surut air danau Poso, pada bulan Maret hingga Juli warga tidak bisa menanam karena air danau sedang pasang. Namun di bulan Agustus hingga Februari, mereka bisa kembali bertani karena air sudah surut. Tapi setelah uji coba pintu air Poso 1 aktivitas PT. Poso sejak 2019, air danau tidak pernah surut sehingga lahan pertanian milik warga terendam,” ujarnya.

Gede menambahkan, karena warga tidak lagi bertani sejak tiga tahun terakhir, angka kemiskinan di Desa semakin meningkat, apalagi pertumbuhan penduduk juga meningkat setiap tahun dan lahan pertanian menyempit karena terendam akibat aktivitas PT. .

“Sebagian besar petani disini terlilit utang. Mereka meminjam uang di Bank untuk biaya produksi, namun ternyata gagal panen karena lahan pertanian terendam air. Petani tidak lagi punya penghasilan sehingga tidak bisa melunasi utang di Bank,” kata Gede.

Walaupun petani yang terdampak mendapatkan kompensasi ganti rugi dari perusahaan kata Gede, namun tidak dapat menutupi utang sebab nilai ganti rugi yang diberikan tidak sebanding dengan hasil pertanian yang seharusnya diperoleh jika mereka bisa bertani.

“Nilai ganti rugi dari perusahaan hanya 15 kg per are tahun 2019, 10 kg per are musim tanam tahun 2020 hingga 2021, sementara yang biasa mereka dapatkan bila bertani bisa mencapai 40 kg per are. Ganti rugi yang didapat habis untuk membayar utang,” ujarnya.

Masyarakat terpaksa menerima kompensasi dari perusahaan karena sudah sangat terdesak, utang harus di bayar, dan kebutuhan hidup juga harus terpenuhi.

Manager lingkungan dan CSR PT. , Irma Suryani mengatakan sejak Juli sampai dengan Desember 2021, PT. telah merealisasikan kewajibannya memberikan kompensasi tahap 1 yakni untuk kejadian tahun 2020 terhadap sawah yang tergenang di 16 desa terdampak langsung berupa beras 10 kg/are dengan total beras yang dibagikan sebesar 460 Ton beras.

Menurutnya, penanganan jangka pendek telah selesai semua, namun masih ada oknum yang memaksakan areanya terdampak, padahal secara kontur berada di area yang lebih tinggi dari danau Poso.

Irma mengungkapkan bawa, pihak perusahaan tetap melakukan pendekatan persuasif dalam penyelesaian semua persoalan warga terdampak, sehingga tetap memberikan kompensasi. Namun masih ada warga yang tetap berkeras dengan tawaran masing-masing.

“Kami sudah selesaikan semua kompensasi, tapi masih ada yang berkeras dengan tawaran mereka yang diluar logika,” kata Irma, Rabu (14/9/2022).

Selanjutnya berdasarkan dialog terbuka perusahaan kepada seluruh perwakilan petani, PPL, Kepala Desa dan Camat, tokoh adat Pamona tingkat kabupaten sampai desa pada desa terdampak, lanjut Irma, akan ditindaklanjuti dengan programprogram jangka panjang yang mana saat ini masih menampung masukan dari petani itu sendiri. Dialog ini rutin dilakukan setiap 3 bulan.***