Oleh: Suci Fitrah Syari (Penulis Buku, Alumni Magister Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada)
Pemilihan Umum akan segera diselenggaran pada bulan Februari 2024. Pesta demokrasi ini menjadi agenda pemilihan para wakil rakyat. Di layar kaca, ramai bermunculan wajah yang akan dicalonkan maju ke kursi Dewan Perwakilan Rakyat di tingkat pusat hingga daerah. Menariknya, diantara wajah itu ada deretan nama artis yang juga mencalonkan dirinya.
Pertanyaan publik pun mulai ramai, apakah mereka yang biasa berlakon di layar kaca bisa mewakili suara rakyat? Sebenarnya, permasalahan utamanya bukanlah pada profesinya, namun yang perlu disoroti adalah pandangan tentang perempuan yang hanya dianggap sebagai “aksesoris” penarik masa, sebab memiliki wajah rupawan dan dukungan popularitas. Pandangan tersebut tentu dapat memperpanjang citra negatif terhadap perempuan.
Dalam Undang – undang No 10 tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, mengharuskan partai politik untuk mengisi keterwakilan perempuan pada kepengurusannya di tingkat pusat, minimal sebesar 30 persen untuk dapat mengikuti Pemilu. Meskipun kebijakan ini berpengaruh terhadap peningkatan persentase perempuan di Parlemen, namun belum sampai mencapai kuota yang diharapkan.
Hasil pemilu periode tahun 2019-2024 menunjukkan keterwakilan perempuan di DPR RI baru mencapai 20,5 persen, sementara perempuan yang terpilih menjadi anggota DPRD Sulewasi Tengah hanya sekitar 5,9 persen. Laporan dari Word Bank (2020) juga menampilkan proporsi keterwakilan perempuan ASEAN di Parlemen, di mana posisi Indonesia hanya menduduki peringkat ke-6 dari 11 negara di bawah Timor Leste, Singapura, Filipina, Laos, dan Vietnam, dengan persentase 20,3 persen.
Fenomena Glass Ceiling
Glass ceiling masih menjadi salah satu isu gender yang menyebabkan perempuan terhambat untuk mengembangkan karir atau pekerjaannya, khususnya pada posisi strategis. Glass Ceiling merupakan fenomena yang menunjukkan hambatan tidak kasat mata yang dialami oleh perempuan, digambarkan seperti langit-langit kaca yang tampak tidak terlihat, namun secara nyata menghambat seseorang untuk bisa naik ke atas. Hal ini pula yang terjadi pada keterlibatan perempuan dalam politik sebagai ranah starategis dalam perumusan kebijakan.
Penelitian yang dilakukan oleh Septiana dan Haryanti (2023) tentang Glass Ceiling pada Pekerja Perempuan disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya faktor individu, perusahaan atau organisasi, dan preferensi. Faktor individu mencakup ambisi dan kepercayaan diri. Masih banyak masyarakat Indonesia yang memiliki pandangan patriarki dan menganggap bahwa laki-laki lebih cocok menempati posisi strategis dalam berbagai aspek kehidupan.
Hal ini pulalah yang menyebabkan perempuan tidak cukup percaya diri dan berambisi untuk meraih posisi tertentu, termasuk dalam politik yang didominasi oleh laki-laki. Selain itu, faktor preferensi yang berasal dari work family conflict juga menyebabkan perempuan menghindari posisi dengan beban kerja dan tanggung jawab yang besar, disebabkan peran ganda yang dimilikinya untuk mengurus urusan domestiknya.
Ada pula faktor organisasi yang berasal dari pelabelan negatif pada perempuan, serta adanya bias dan diskriminasi gender di lingkungan kerja. Berbagai faktor tersebut juga memiliki pengaruh dan menjadi alasan yang dapat menjawab mengapa rendahnya keterwakilan perempuan di ranah politik.
Dukungan Sesama Perempuan
Perempuan yang maju ke kancah politik, apapun profesinya, perlu untuk diacungi jempol. Kehadiran mereka dapat merepresentatifkan perempuan. Namun, tentu tidak hanya cukup pada “keterwakilan”, akan tetapi perempuan juga perlu berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan, sehingga dapat melahirkan kebijakan yang responsif gender. Hadirnya perempuan di ranah politik untuk dapat menyuarakan aspirasi dan kepentingan perempuan yang kerap terabaikan.
Mulai dari kasus kekerasan, pelecehan, pemaksaan dan pernikahan dini terhadap perempuan merupakan segelintir kasus yang membutuhkan partisipasi politik perempuan, sehingga dapat menyuarakan dan melahirkan kebijakan yang adil terhadap perempuan. Scanlon (1998) menjelaskan bahwa mengesampingkan peran dan kontribusi perempuan dapat berdampak pada berkurangnya pemanfaatan kemampuan perempuan, sekaligus pengabaian terhadap kebutuhan dan kerentanan khusus yang perempuan alami. Sementara itu, United Nations Development Programme juga mempertegas, bahwa partisipasi politik perempuan merupakan salah satu indikator penting dalam mencapai tujuan-tujuan global dan pembangunan berkelanjutan.
Oleh karena itu, dalam menumbuhkan kepercayaan diri dan kesadaran akan pentingnya keterwakilan perempuan, dapat dilakukan dengan memberi dukungan kepada sesama perempuan. Role model menjadi aspek penting untuk dapat membantu dan menginspirasi perempuan lainnya, bahwa mereka memiliki peranan penting dan dibutuhkan dalam penyelesaian isu perempuan.
Di Indonesia, kita mengenal banyak perempuan yang memiliki kemampuan profesional yang bahkan diakui oleh dunia dan menduduki posisi-posisi strategis. Sejak dulu kita mengenal R.A Kartini sebagai pejuang pendidikan bagi perempuan. Ada pula Rahmah El Yunusiyah sebagai pendiri sekolah perempuan pertama di Indonesia.
Di masa kini, ada Sri Mulyani sebagai menteri keuangan yang mengedepankan pengarusutamaan gender dalam alokasi anggaran dan perumusan kebijakan responsif gender, khususnya di Kementerian Keuangan. Role model perempuan berperan sebagai pendobrak atas budaya yang masih melekat di masyarakat, sehingga menyebabkan pembatasan peran perempuan pada sektor domestik.
Maka dari itu, sebelum berkontestasi di panggung politik, perempuan perlu didukung dan dibekali kemampuan secara konseptual maupun praktis, agar tidak hanya dijadikan sebagai penarik masa, penghias panggung politik, ataupun hanya sebatas pengisi kuota partai untuk maju pemilu, namun memiliki otoritas dalam mewujudkan perubahan kebijakan yang berorientasi pada keadilan gender.***