“Utang adalah perbudakan modern,” kata seorang filsuf, namun di era digital ini, mengapa begitu banyak dari kita memilih rantai yang berkilau?

Di tengah gemerlap kemudahan teknologi, sebuah kenyataan mencolok muncul: utang pinjaman online (pinjol) dan paylater di Indonesia telah membumbung hingga angka yang menggetarkan. Otoritas Jasa (OJK) mencatat bahwa utang pinjol atau paylater di sektor perbankan saja mencapai Rp 21,98 triliun pada Februari 2025, dengan pertumbuhan 36,6% dari tahun sebelumnya.

Lebih jauh lagi, total utang pinjol paylater, termasuk multifinance, telah menyentuh Rp 30,36 triliun pada November 2024. Fenomena ini, bagai gelombang yang tak terlihat, menyeret jutaan masyarakat—khususnya kaum muda—ke dalam pusaran keuangan yang rapuh.

Namun demikian, apa yang mendorong ledakan ini, dan mengapa kaum , sebagai bagian tak terpisahkan dari masyarakat, turut merasakan getarannya?

Realitas yang Tak Terbantahkan

Data menjadi cermin yang tak bisa berbohong. Pada 2023, utang pinjol untuk kelompok usia 19-34 tahun mencapai Rp 27,1 triliun, menyumbang 54,06% dari total pinjaman fintech tanah air, sebagaimana laporan VOA Indonesia.

Angka ini bukan sekadar statistik; ia mencerminkan pola hidup di mana kemudahan akses kredit digital menjadi solusi sekaligus jerat. Seorang perempuan muda di Jakarta, misalnya, yang kita sebut sebagai Maya—bukan nama sebenarnya—mengaku menggunakan paylater untuk membeli kebutuhan sehari-, dari pakaian hingga gadget.

“Saya merasa bisa mengatur,” katanya dalam sebuah wawancara daring, “tapi tiba-tiba tagihan menumpuk, dan saya tak tahu bagaimana membayarnya.” Kisah Maya bukanlah pengecualian. Ia adalah gambaran nyata dari jutaan rekening paylater—36,6 juta pada Februari 2025, menurut —yang menunjukkan betapa masifnya adopsi layanan ini, risikopun tak terelakkan.

Pinjaman macet di sektor pinjol pada Semester I/2023 mencapai Rp 1,73 triliun, naik 54,90% dari tahun sebelumnya, dengan 601.338 akun yang gagal bayar.

Bagi kaum , yang sering kali mengelola keuangan keluarga sembari mengejar karier atau kebutuhan pribadi, tekanan ini terasa dua kali lipat.

Laporan dari Liputan6 menunjukkan bahwa utang paylater di multifinance tumbuh menjadi Rp 8,59 triliun pada November 2024, dengan banyak pengguna adalah perempuan yang mencoba menyeimbangkan kebutuhan rumah tangga dan gaya hidup modern.

Mengapa Ini Terjadi?

Pertanyaan yang lebih mendalam muncul: mengapa masyarakat, termasuk kaum , begitu mudah terpikat oleh pinjaman digital? Salah satu jawabannya terletak pada desain layanan ini.

Paylater dan pinjol menawarkan kemudahan yang nyaris tanpa hambatan—tanpa jaminan, tanpa antrean, hanya dengan beberapa klik.

Namun, di balik kemudahan itu, ada algoritma yang mempelajari kebiasaan kita, mendorong pembelian impulsif dengan tawaran “bayar nanti.”

Sebagaimana terlihat dalam laporan CNBC Indonesia, kredit buy now pay later (BNPL) perbankan hanya mencakup 0,25% dari total kredit. Meski demikian pertumbuhannya yang eksplosif menunjukkan daya tarik yang sangat menggoda.

Lebih jauh lagi, ada faktor sosial yang tak kalah penting. Tekanan untuk memenuhi ekspektasi gaya hidup modern—dari memiliki ponsel terbaru hingga liburan yang Instagrammable—mendorong banyak individu, termasuk perempuan, untuk mencari jalan pintas.

Dalam sebuah survei oleh Katadata pada 2023, 62% pengguna pinjol mengaku meminjam untuk kebutuhan konsumtif, bukan produktif. Hal ini menunjukkan bahwa di balik angka-angka besar, ada cerita tentang keinginan untuk diterima, untuk terlihat sukses, meski dengan harga yang mahal.

Refleksi yang Mengusik

Sulit untuk tidak merasa terusik ketika melihat bagaimana kemajuan teknologi, yang seharusnya membebaskan, justru menciptakan belenggu baru.

Apakah kita, sebagai masyarakat, telah kehilangan kemampuan untuk membedakan kebutuhan dari keinginan? Ataukah rancangan sistemnya membuat kita terus berlari di roda yang tak pernah berhenti?

Bagi kaum Hawa, pertanyaan ini bukan hanya soal keuangan, tetapi juga tentang martabat—tentang bagaimana kita menentukan nilai diri di tengah tekanan sosial dan .

Studi kasus lain memperkuat refleksi ini. Di sebuah kota kecil di , seorang ibu rumah tangga bernama Sari—juga nama samaran—terjebak utang pinjol setelah meminjam untuk membeli peralatan rumah tangga.

“Saya pikir itu akan membantu,” ujarnya dalam laporan lokal, “tapi bunga dan denda membuat saya tak bisa tidur.” Kisah Sari adalah pengingat bahwa utang digital tidak hanya soal angka, tetapi juga tentang tekanan emosional yang menghantui.

Ada keheningan yang mencekam dalam kenyataan bahwa banyak dari kita, tanpa sadar, menukar ketenangan batin dengan janji kemudahan sesaat.

Melangkah ke Depan

Di tengah realitas ini, terus memperketat pengawasan, mengimbau masyarakat untuk bijak menggunakan layanan keuangan digital.

Namun, tanggung jawab tidak hanya terletak pada regulator atau penyedia layanan. Ia juga ada pada kita—pada setiap individu yang memilih untuk mengklik “setuju” atau “tolak” di layar ponsel. Bagi kaum Hawa, yang sering menjadi penutup celah keuangan keluarga, kesadaran ini menjadi semakin krusial.

Literasi keuangan, sebagaimana sosialisasi program edukasi , adalah langkah awal untuk membangun fondasi yang lebih kokoh.

Namun demikian, pertanyaan yang lebih besar tetap menggantung: jika teknologi terus berkembang, akankah kita mampu mengimbanginya dengan kearifan? Ataukah kita akan terus berjalan di tepi jurang, tergoda oleh kilau yang hanya sesaat?

Mungkin sudah saatnya kita berhenti sejenak, bukan untuk menyalahkan, tetapi untuk bertanya: di mana letak keberanian kita untuk memilih jalan yang lebih sulit, namun lebih bermakna?