PALU, HAWA.ID – Aktivatas pertambangan emas tanpa izin (PETI) semakin marak di sejumlah wilayah di Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng). Sebut saja di wilayah Kabupaten Parigi Moutong, Buol dan di area konsesi PT Citra Palu Minerals (CPM) Kelurahan Poboya dan Vatutela Kelurahan Tondo.
Data dari yang diperoleh wartawan, terdapat sejumlah lokasi pertambangan ilegal di dalam konsesi PT CPM. Metode yang digunakan oleh penambang ilegal di area ini ada dua, yaitu sistem perendaman yang menggunakan bahan kimia dalam jumlah besar dan metode manual dengan cara menggali lubang untuk kemudian diolah di tromol.
Maraknya aktivitas ilegal ini dinilai karena tidak seriusnya aparat penegak hukum dalam melakukan penindakan. Upaya sosialisasi yang dilakukan, khususnya oleh Polresta Palu kepada penambang ilegal di Poboya dan Vatutela, dianggap hanya gertak sambal.
Kapolresta Palu, Kombes Pol Barliansyah, pernah berjanji, setelah sosialisasi dilakukan, maka akan disusul dengan tindakan penertiban yang direncanakan akan dilakukan secara humanis.
Kata Kapolresta, akhir bulan lalu, langkah penertiban segera diambil dalam waktu dekat, sekira September. Namun sampai hari ini, langkah-langkah yang dimaksud, belum terlihat.
Kasubsi PIDM Humas Polresta Palu, Aiptu I Kadek Aruna, juga pernah mengatakan, pihaknya berkomitmen untuk mengurangi dampak negatif dari penambangan ilegal ini melalui sosialisasi yang intensif dan komunikasi langsung dengan masyarakat.
Anggota DPRD Kota Palu, Muslimun, mendukung langkah yang diambil oleh Polresta Palu dalam upaya memberantas PETI di wilayah Poboya dan sekitarnya. Namun, ia mempertanyakan minimnya informasi terkait kegiatan yang telah dilakukan oleh aparat.
Menurut Muslimun, keterbukaan informasi ini sangat penting agar DPRD dapat menjalankan fungsi pengawasannya.
“Kita belum tahu sampai di mana progresnya karena tidak pernah diumumkan ke public. Jika penertiban dilakukan dengan serius, harusnya ada publikasi yang jelas. Dengan begitu, DPRD juga memiliki kewenangan untuk memantau dan mengevaluasi apa yang dilakukan,” ujar Muslimun, Selasa (18/09/2024).
Ia juga mempertanyakan janji kepolisian untuk menertibkan tambang ilegal di Poboya. Sebab, sejauh ini, aktivitas tersebut masih terus berlangsung.
“Yang menjadi pertanyaan besar, berapa banyak PETI yang masih beroperasi di atas sana? Jangan-jangan ini hanya gertak sambal,” tanya Muslimun.
Politisi Partai NasDem ini menyatakan, sejauh ini tidak ada hasil yang jelas dari upaya atau janji yang diberikan pihak kepolisian tersebut, khususnya terkait berapa banyak tambang ilegal yang sudah ditindak.
“Kalau memang ilegal, harus segera diusut dan ditindak tegas. Teman-teman DPRD Kota Palu mempertanyakan keseriusan Polresta. Sudah sampai mana progresnya? Ini penting, karena masyarakat berhak tahu,” kata Muslimun.
Ia juga mengingatkan bahwa keseriusan dalam memberantas PETI harus disertai dengan transparansi.
“Kita tidak mau kasus ini seperti pepatah jeruk makan jeruk, di mana penegakan hukum berjalan di tempat dan akhirnya hanya menjadi gertakan tanpa aksi nyata,” tekannya.
Ia juga menyarankan pentingnya membuka ruang dialog antara masyarakat dan pemerintah.
Menurutnya, dalam menghadapi masalah PETI dan dampak lingkungan yang ditimbulkan, kolaborasi yang erat antara semua pihak sangatlah penting.
Lanjut dia, masyarakat, DPRD, pemerintah, dan aparat kepolisian harus bekerja sama untuk memastikan bahwa sumber daya alam yang ada di Poboya dapat dikelola dengan baik, tanpa merusak lingkungan dan merugikan masyarakat sekitar.
Dampak Lingkungan dari Merkuri
Aktivitas PETI diyakini menggunakan bahan kimia dalam pengolahan material dari batu menjadi emas murni. Dua bahan kimia yang paling dikenal adalah sianida dan merkuri.
“PETI pasti menggunakan merkuri, dan merkuri adalah bahan kimia berbahaya. Jika limbahnya dibuang langsung ke sungai, dampaknya akan sangat merugikan, terutama bagi masyarakat sekitar yang bergantung pada sumber daya air tersebut,” ungkap Muslimun.
Mantan Ketua LPS-HAM Sulteng ini khawatir, penggunaan merkuri dalam penambangan emas sering kali menyebabkan pencemaran air dan tanah, yang pada akhirnya akan berdampak pada kesehatan masyarakat.
Muslimun menekankan bahwa jika terbukti PETI di Poboya menggunakan merkuri secara ilegal, maka harus ada tindakan tegas dari pihak berwenang.
“Tangkap pelakunya dan hentikan aktivitas tambangnya,” tegasnya.
Ia juga mempertanyakan rantai distibusi merkuri. Siapa penjualnya dan dari mana asalnya.
“Jika polisi serius, mereka harus mengusut rantai distribusi ini,” tegasnya.
JATAM: Ada Aktivitas PETI di Dekat Subkon CPM
Dari hasil identifikasi Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Sulawesi Tengah (Sulteng), ada empat titik utama aktivitas tambang ilegal yang menggunakan sistem perendaman, mulai dari belakang Gong Perdamaian hingga wilayah Vatutela di Kelurahan Tondo. Aktivitas illegal ini makin meluas di dua keluarahan di Kota Palu itu.
“Di Poboya dan Vatutela, ada empat titik utama kegiatan pertambangan ilegal yang menggunakan metode perendaman. Lokasinya tersebar mulai dari belakang Gong Perdamaian, ada juga di dekat kawasan perkantoran PT AKM (Perusahaan Sub Kontraktor PT CPM) hingga ke Vatutela Kelurahan Tondo,” ungkap Koordinator JATAM Sulteng, Moh Taufik, tiga hari lalu.
Taufik mengungkap bahwa keberadaan penambang tradisional yang menggunakan tromol sudah ada sejak lama, berkisar tahun 2007/2008. Hingga saat ini, aktivitas tersebut masih berlangsung, meskipun beberapa upaya penindakan telah dilakukan.
“Namun, dalam banyak kasus, yang menjadi sasaran penindakan hanya para pekerja di lapangan, sementara pemodal besar dan cukong di balik aktivitas tambang ilegal tersebut tak tersentuh hukum,” katanya.
Dari catatan JATAM sejak 2017, aparat hukum cenderung menindak hanya para pekerja lapangan dan penambang kecil yang menggunakan tromol.
“Ini terjadi lagi pada tahun 2018 ketika isu penggunaan merkuri dalam tambang ilegal ramai diperbincangkan. Namun, para pemain besar yang menyediakan alat berat, modal, dan bahan kimia tidak pernah tersentuh oleh hukum. Ini menguatkan dugaan adanya pembiaran terhadap para pemodal dan otak di balik aktivitas tambang ilegal tersebut,” ungkap Taufik.
Menurutnya, penggunaan alat berat, bahan kimia, serta perlengkapan lainnya, seharusnya bisa menjadi petunjuk siapa dalang di balik tambang ilegal. Namun hingga kini, tak ada tindakan konkret untuk mengungkap atau menangkap para pemodal tersebut.
“Ini menimbulkan pertanyaan, apakah hukum tak berdaya menghadapi mafia tambang, atau ada keterlibatan oknum aparat dalam membiarkan aktivitas ini berlangsung sehingga pemodal besar tetap aman,” tambah Taufik.
Ia menyatakan, selama para pemodal besar dan cukong tidak disentuh, aktivitas tambang ilegal akan tetap berlanjut dan kerusakan lingkungan akan semakin parah.
Terkait keberadaan para penambang tradisional yang menggunakan tromol, Taufik berharap pihak kepolisian bekerja sama dengan Pemerintah Kota Palu untuk mencari solusi alternatif bagi para penambang yang terjerat ekonomi.
“Karena para penambang ini sudah puluhan tahun menggantungkan hidup dari tambang, diperlukan solusi ekonomi yang dapat menggantikan penghasilan mereka dari aktivitas tambang illegal. Selain itu, perlu ada solusi yang tepat bagi para penambang tradisional agar mereka tidak terus terjebak dalam siklus tambang ilegal,” katanya.***
*Tulisan ini Bagian dari Program Kolaborasi Liputan Jurnalis Kota Palu yang Tergabung dalam Komunitas Roemah Jurnalis