PALU, HAWA.ID – Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024 di provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) tampaknya belum membawa angin segar bagi kaum perempuan.
Cita-cita untuk menempatkan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen di kursi parlemen sangat jauh dari harapan.
55 Anggota DPRD Sulteng periode 2024-2029 telah diambil sumpahnya, Rabu (25/9/2024). Perempuan yang mendapatkan kursi sebanyak 14 orang. Capaian ini setara 25,45 persen dari total 55 kursi.
Jika dibandingkan dengan hasil Pemilu 2019, persentase keterwakilan perempuan di DPRD justru mengalami penurunan. Pada pemilu sebelumnya, persentase keterwakilan perempuan di parlemen kurang lebih 26 persen atau 12 orang dari 45 anggota DPRD Sulteng. Artinya, terjadi penurunan jika dibandingkan hasil pemilu sebelumnya. Padahal jumlah anggota DPRD Sulteng di Pemilu 2024 mengalami penambahan dari 45 orang menjadi 55 orang atau ada penambahan 10 kursi.
Ada tiga partai politik yang jumlah caleg perempuan yang lolos ke DPRD Sulteng terbanyak. Yaitu partai Gerindra, Partai Keadilan Sejahterakan (PKS), dan PDI Perjuangan dengan jumlah anggota Perempuan masing-masing 3 orang.
Selanjutnya partai Nasdem ada dua orang, dan partai PKB, Golkar, dan Demokrat masing-masing ada satu anggota perempuan.
Caleg perempuan yang berhasil mempertahankan kursi DPRD Sulteng ada delapan orang yaitu Zalzulmida A Djanggola (Gerindra), Winiar Hidayat Lamakarate (Gerindra), Marlelah (Demokrat), Sri Atun (PKS), Sri Indraningsih Lalusu (PDI-P), Wiwik Jumatul Rofi’ah, (PKS), Rahmawati M Nur (PKB), dan Fatimah Moh Amin Lasawedi (PKS).
Sementara wajah baru ada enam orang yaitu Vera Rudy Mastura (Gerindra), Hartati (Nasdem), Risnawati M Saleh (PDIP), Maryam Tamoreka (Golkar), Alfiany Eliata Sallata (PDIP), dan Arnila Moh Ali (Nasdem).
Pengajar Hukum Pemilu di Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mengatakan, ekosistem politik di Indonesia membuat perempuan sulit meningkatkan keterpilihan secara signifikan. Politik yang mahal dan berbiaya tinggi, persaingan ketat caleg internal dan caleg antarpartai, praktik jual beli suara yang masif, wilayah cakupan dapil yang luas, serta adanya pemilih yang belum terbuka terhadap kepemimpinan perempuan membuat peluang keterpilihan kaum hawa rendah.
”Ditambah lagi partai tidak optimal memberikan pengawalan, pendampingan, dan dukungan memadai bagi kerja-kerja pemenangan yang dilakukan caleg perempuan,” ujarnya.
Akibatnya, konfigurasi caleg perempuan yang menduduki kursi DPR akan tetap sama seperti di periode sebelumnya. Caleg perempuan berlatar belakang pengusaha, pesohor, dan bagian dari politik dinasti memiliki potensi besar untuk lolos. Sebab, kekuatan modal kapital dan jejaring sosial di daerah sangat menentukan keterpilihan.
Menurut Titi, masih rendahnya persentase keterwakilan perempuan di DPR dapat berdampak pada sulitnya menghadirkan kebijakan yang inklusif dan ramah hak-hak perempuan. Caleg perempuan dengan persentase stagnan harus bekerja lebih keras untuk memberikan advokasi tentang isu dan kebijakan yang berpihak pada perempuan.
”Pada akhirnya, bukan tidak mungkin akan makin sulit bagi perempuan Indonesia untuk mencapai keadilan dan kesetaraan jender dalam lingkungan politik dan publik,” katanya.
Di sisi lain, dapil tanpa keterwakilan perempuan bisa menjadi contoh pendidikan politik yang buruk bagi pemilih. Isu perempuan makin sulit diperjuangkan dan bisa dianggap bukan prioritas bagi para wakil rakyat.KPC/LIA