PALU, HAWA.ID – Jaringan Advokasi Untuk Perempuan Sulawesi Tengah () mendampingi korban kasus dugaan kekerasan seksual berupa pemerkosaan dan pemaksaan aborsi yang dilakukan oknum petinggi partai (Parpol) melapor ke Polda , Rabu (24/8/2022).

Laporan polisi tersebut tercatat dengan nomor LP/B/240/VIII/2022/SPKT/POLDA SULAWESI TENGAH. Tanggal 24 Agustus 2022.

Juru bicara Jaringan Advokasi Untuk Perempuan Sulteng, Fitriani kepada wartawan mengatakan, jaringan advokasi yang terdiri dari organiasi perkumpulan , solidaritas perempuan (SP) Sulteng, KPPA Sulteng, KPI Sulteng, Sulteng, dan LBH Catur Sulteng saat ini tengah mendampingi pelaporan dugaan kasus pemerkosaan dan pemaksaan aborsi yang dialami seorang perempuan berusia 26 tahun, warga Kabupaten Tolitoli ke Unit Pelayanan Perempuan dan Anak () Polda Sulteng.

Menurutnya, terlapor diduga merupakan seorang petinggi salah satu Parpol Sulteng. Korban awalnya kenal dengan pelaku sejak tahun 2016 dalam sebuah organisasi. Pada 2019, korban dan pelaku menjalin hubungan asmara.

Selama masa pacaran, korban mengaku berhubungan layaknya suami istri dengan pelaku karena dipaksa dan di iming -imingi akan dinikahi.

Dari hubungan itu, kata Fitriani, korban akhirnya hamil, dan pelaku tidak bertanggungjawab, bahkan meminta korban untuk menggugurkan kandungannya yang saat itu sudah berusia empat bulan.

“Kekerasan dengan Aborsi paksa terjadi salah satu hotel di Palu. Aborsi paksa dilakukan dengan cara menekan perut korban dengan keras menggunakan tangan oleh pelaku, harapannya janin dalam kandungan keluar. Selain itu, mulut korban juga disekap dengan bantal. Janin dalam perut korban akhirnya keluar satu minggu setelah pemaksaan aborsi, bahkan korban sempat mengalami pendarahan,” kata Fitriani dalam keterangan persnya, di Bersama (Sekber) rumah , Rabu usai mendampingi korban melapor ke Polda Sulteng.

Menurut Fitriani, korban juga saat ini mengalami penyakit infeksi menular seksual yang diduga kuat terjangkit dari pelaku.

Ditempat yang sama, Direktur Sulteng, Dewi Rana mengatakan, berdasarkan keterangan korban, kasus yang sama juga dialami beberapa perempuan yang dikenali korban.

“Korban berani melapor setelah mendapat pendampingan dari berbagai organisasi. Berharap keberanian ini bisa membuat korban lainnya berani untuk speak up. Sampai saat ini sudah ada lima perempuan yang diduga menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan pelaku,” kata Dewi.

Menurut Dewi, relasi kuasa yang membuat korban ketakutan untuk melaporkan kasus yang dialami ke pihak berwajib. Apalagi diketahui pelaku merupakan seorang politisi yang memiliki kuasa.

Setelah melapor, jaringan advokasi untuk perempuan Sulteng akan terus melakukan pendampingan untuk korban, termasuk jika nantinya ada korban lainnya yang berani untuk speak up.

“Kami berharap pihak berwajib segera memproses laporan ini sehingga korban mendapatkan keadilan. Kami juga akan memberikan perlindungan kepada korban, apalagi sejak kejadian, korban masih mendapat tekanan dari pelaku,” kata Dewi.ECA