Kisah Petani Penyintas di Parmout Menjaga Hutan

 

Siang itu, suasana desa telihat sedikit lengang. Sebagian besar masyarakatnya masih berada di lahan perkebunan. Setelah melewati jarak sekitar 40 kilometer (km) dari ibu kota Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng), saya bersama rombongan  media trip ke wilayah Proyek Forest Investment Program 2 (FIP 2) kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Dolago-Tanggunung, tiba di desa Olobaru, Kecamatan Parigi Selatan, Kabupaten (Parmout).

Laporan : Kartini Nainggolan

Perjalanan kami menggunakan kendaraan roda empat pada Selasa, 29 Maret 2022  terbilang cukup melelahkan. Namun Lelah kami terbayarkan dengan pemandangan yang cukup indah saat melintasi hutan kebun kopi. Tiba Di Desa Olobaru, kami disambut oleh kelompok Tani Hutan () Toata Mandiri.

Olobaru merupakan salah satu desa di Kabupaten Parimout yang diterjang besar pada Juli 2020. Sekitar 300 Kepala Keluarga (KK) menjadi korban  , dan hingga saat ini masih ada warga tinggal di hunian sementara (Huntara) yang dibangun oleh pemerintah.

terjadi pada Jumat (10/7/2020) lalu di Kabupaten Parmout. Berdasarkan data yang dirilis oleh BPBD Parmout, banjir telah menerjang tiga kecamatan dan 13 desa di Kabupaten Parmout. Tiga kecamatan yang dilanda banjir adalah Kecamatan Parigi Selatan, Parigi, dan Parigi Barat.

Di Kecamatan Parigi Selatan, desa yang terendam adalah Masari, Tindaki, Dolago, Boyantongo, Olobaru, dan Lemusa. Di Kecamatan Parigi, desa yang terendam adalah Olaya, Pombolowo, Bambalemo.

Sedangkan di Kecamatan Parigi Barat, hanya satu desa yang terendam, yaitu Desa Air Panas. Sebanyak 155 rumah terendam dan  889 KK atau 3.091 jiwa terdampak banjir di tiga kecamatan itu. Banjir tersebut juga menyebabkan 22 rumah hanyut, 61 rusak berat, 3 rusak sedang dan 5 rusak ringan.

Desa Olobaru masuk desa yang terdampak cukup parah, sehingga sebagian besar terpaksa direlokasi ke tempat yang lebih aman. Bencana banjir di kabupaten Parimout sudah sering terjadi setiap musim hujan tiba.

Sebelumnya mantan Bupati Parmout, H Longki Djanggola menyebutkan bahwa banjir dan longsor yang melanda sejumlah daerah di Kabupaten Parmout adalah akibat maraknya pembalakan liar. Penebangan kayu hutan secara serampangan telah berlangsung sejak 1980.

Menurut Longki, kawasan hutan lindung yang selama ini menjadi daerah penyangga telah rusak parah. Tercatat sebanyak 30 persen dari kawasan hutan lindung seluas hampir 400 ribu hektare hancur. Longki menambahkan, lahan itu dijadikan permukiman dan ladang. Ini akibat hutan tak mampu lagi menampung resapan air saat hujan.

Akibat kerusakan hutan di wilayah Parmout dan belajar dari bencana dimasa lalu, sebagian besar masyarakat mulai sadar akan pentingnya menjaga agar hutan tetap lestari.

Upaya yang dilakukan adalah dengan mengubah mind set yang dulunya menjadi perambah hutan, sekarang memiliki usaha dengan memanfaatkan hutan tanpa merusaknya dengan pendampingan dari KPH Dolago-Tanggunung.

Toata Mandiri Desa Olobaru mengolah Durian yang melimpah di hutan menjadi produk olahan dodol dan durian kupas. FOTO : KARTINI NAINGGOLAN

Seperti yang dilakukan oleh Toata Mandiri dengan memanfaatkan durian yang melimpah di hutan, dijadikan produk unggulan berupa dampo durian atau dodol durian dan durian kupas.

Ketua KTH Toata Mandiri, Sarman L Tjimpolo mengatakan, dari dukungan proyek FIP 2, kelompok tani sudah mampu memproduksi buah durian sehingga memiliki nilai jual lebih tinggi.

Menurutnya, dari proyek FIP 2 ini, manfaat yang dirasakan bukan hanya oleh kelompok tani yang tergabung sebagai anggota KTH Toata Mandiri, namun manfaatnya juga dirasakan warga desa Olobaru dan desa-desa tetangga lainnya. Warga tidak lagi bingung menjual hasil kebun duriannya ketika musim panen, sebab mereka bisa menjual hasil panen ke rumah produksi yang dikelola KTH Toata Mandiri.

“Dulu warga menjual durian hasil panen ke tengkulak dengan harga yang sangat murah karena warga belum tahu cara mengelola durian sehingga bisa menjadi produk yang memiliki nilai jual yang lebih tinggi,” ujarnya.

Setelah mengunjungi rumah produksi milik KTH Taota Mandiri, saya bersama rombongan melanjutkan perjalanan ke desa Tanalanto, kecamatan Torue. Kami mendatangi rumah produksi gula semut aren milik KTH Rimba Raya.

KTH Rimba Raya desa Tanahlanto mengolah gula aren menjadi gula semut. FOTO : KARTINI NAINGGOLAN/MS

Di KTH Rimba Raya ini, kami mendengarkan keluh kesah petani yang kesulitan memasarkan produk aren yang mereka olah menjadi gula semut aren Mario.

“paling laku di jual itu gula aren batok dari pada gula semut aren. Harga gula aren batok juga sangat murah sekitar Rp 14 ribu per kg. Kalau kami olah menjadi gula semut aren harganya Rp 100 ribu per kg, tapi jarang yang mau membeli,” kata ketua KTH Rimba Raya, Bahar.

Pemasaran hasil produk unggulan KTH Rimba Raya ini menjadi hambatan dalam mengelola aren di desa Tanalanto. Namun semangat anggota dalam pengelolaan hasil hutan bukan kayu dan menjaga hutan agar tetap lestari tidak pernah pupus. Apalagi KTH ini adalah salah satu KTH yang mendapat proyek FIP 2, dimana mereka terus belajar dan berusaha agar hutan tetap terjaga,dan  perekonomian warga tetap berjalan dengan baik tanpa merusak hutan.

 

Menjemput Asa dari Kulit Daging Buah Pala

Hari kedua di Kabupaten Parmout, saya bersama rombongan  media trip ke wilayah FIP 2 KPH Dolago-Tanggunung mengunjungi desa Maleali, kecamatan Sausu.

Di desa Maleali, kami disambut dengan aktifitas para perempuan anggota KTH Rajawali membuat sirup dari kulit buah Pala.

Secara umum, Pala selama ini hanya bijinya yang dimanfaatkan untuk bumbu dapur. Oleh perempuan desa yang tergabung dalam KTH Rajawali, kulit daging buahnya mereka jadikan minuman sirup yang memiliki nilai jual. Bantuan alat pengelolaan kulit daging buah pala dari proyek FIP 2 memberikan asa bagi para perempuan di desa Maleali.

“kulit buah Pala yang kami olah menjadi sirup sudah banyak peminatnya. Kami menjual secara offline maupun online. Bahan baku kulit daging buah Pala didapatkan dari anggota, ada juga dari warga desa yang menjual ke kelompok kami. Sementara untuk harga sirup, kami jual dengan harga yang berbeda untuk anggota dan di luar anggota. Kalau anggota Rp 15 ribu per 350 mililiter, di luar anggota Rp 17 ribu per 350 mililiter,” kata bendahara KTH Rajawali, Fatmawati.

Menurutnya, dalam mengola kulit daging buah Pala sangat mudah, dimulai dari mengupas kulit luar, kemudian direndam dengan air garam, digiling kemudian diambil sari dari daging buah yang telah digiling.

Bisnis sirup buah Pala ini cukup menjanjikan, sayangnya KTH Rajawali kesulitan mendapatkan bahan baku mengingat pohon pala banyak yang tumbuh didalam Kawasan Hutan Produksi tetap (HPT).

“Pohon Pala banyak hidup di dalam Kawasan hutan. Kami belum berani masuk hutan karena masih ada teroris, makanya kami kesulitan mendapatkan bahan baku,” kata Fatmawati.

Ketua KTH Rajawali Desa Maleali, Arfi Seran (baju batik) memperlihatkan hasil penyulingan nilam menjadi minyak astiri. FOTO : KARTINI NAINGGOLAN/MS

Selain mengelola kulit buah Pala, KTH Rajawali Maleali juga mengolah nilam menjadi minyak astiri yang harga jualnya cukup menjanjikan.

Sayangnya, beberapa bulan terakhir, harga minyak nilam anjlok. Tahun 2021 lalu, harga nilam mencapai Rp 600 ribu per kg. Saat ini harganya anjlok menjadi Rp 400 ribu per kg.

“Harga jual saat ini sangat rendah dibanding tahun 2021 lalu yang mencapai Rp 600 ribu per kg. Harga sekarang tidak dapat menutup modal kami untuk membeli pupuk dan obat pembasmi hama,” kata ketua KTH Rajawali, Arfi Seran.

Menurut Arfi, akibat harga minyak nilam turun, warga desa maupun anggota KTH Rajawali tidak lagi menanam nilam, dan mengganti tanaman lain seperti jagung dan padi.

Walaupun harga nilam turun, KTH Rajawali memanfaatkan alat penyulingan nilam bantuan dari FIP 2 untuk disewakan kepada petani nilam yang akan melakukan penyulingan.

“Karena harga jual rendah dan sebagian kelompok tani tidak lagi menanam nilam, maka kami memanfaatkan alat penyulingan untuk disewakan kepada petani nilam dari luar. Harga sewanya Rp 100 ribu untuk satu kali penyulingan dengan kapasitas 150 kg nilam kering. Kalau musim panen, petani harus sabar untuk antri, karena kami hanya melayani 3 sampai 4 kali penyulingan dalam satu hari,” kata Arfi.

KTH Bukit Hanoman, desa Sausu Gandasari memproduksi kopi bubur robusta. FOTO : KARTINI NAINGGOLAN/MS

Tujuan terakhir saya dan rombongan media trip ke wilayah FIP 2 KPH Dolago-Tanggunung adalah desa Sausu Gandasari di kecamatan Sausu. Kami mengunjungi KTH Bukit Hanoman yang mengolah kopi bubuk jenis robusta.

10 tahun lalu, desa Gandasari juga pernah diterjang banjir yang cukup parah. Karena merasa hutan adalah rumah dan nyawa mereka, warga setempat mulai cerdas memanfaatkan hutan yang ada disekitar desa.

“kami dapat bantuan 10 ribu bibit kopi jenis robusta dari proyek FIP2. Bibit itu sudah kami tanam  di dalam Kawasan hutan. Semoga bibit yang kami tanam bisa tumbuh dengan baik, sehingga menghasilkan produk kopi yang berkualitas. Hutan adalah rumah dan nyawa kami. Banjir besar yang terjadi sekitar 12 tahun lalu menjadi pelajaran bagi kami untuk tetap menjaga hutan agar tetap lestari,” kata ketua KTH Bukit Hanoman, I Nyoman Winada.

I Nyoman mengakui bahwa harga kopi bubuk robusta yang diproduksi oleh KTH Bukit Hanoman cukup bersaing, mengingat harga jual kopi di pasaran sangat murah.

“Harga kopi robusta yang kami produksi masih mahal dibandingkan kopi yang dijual di pasar. Tapi untuk kualitas, kopi robusta produksi KTH bukit Hanoman tidak perlu diragukan lagi karena jenis kopi kami original tanpa adanya bahan campuran,” ujarnya.

Media trip ke wilayah FIP 2 KPH Dolago-Tanggunung ditutup dengan suguhan menu hasil pertanian warga desa Sausu Gandasari, seperti jagung pulut dan kelapa muda.***