JEPARA, HAWA – Kartini Kecil, begitulah Raden Ajeng Kartini pada masa kecilnya. Lahir di Jepara pada 21 April 1879, bupati R.M. Sosrodiningrat ini punya semangat besar sejak dini.

Keluarga memanggilnya “Trinil”, julukan untuk burung kecil yang lincah dan cerewet. Tak hanya itu, ia “Kuda Kore” jadi sapaan lain, yang bermakna kuda liar karena kecerdasannya yang sulit orang kendalikan.

Nama-nama ini menjadi pencerminan jiwa Kartini Kecil yang penuh energi dan keberanian, jauh sebelum ia menjadi pahlawan emansipasi wanita.

Kartini Kecil tumbuh di lingkungan bangsawan Jawa yang kaya tradisi. Ia bersekolah di Europese Lagere School hingga usia 12 tahun.

Namun, adat pingit menghentikan langkahnya. Sebagai perempuan, ia merasakan pembatasan hak yang ketat.

Sekolah tak lagi boleh ia jejaki, dan telah menanti di depan.

“Saya ingin berkenalan dengan seorang gadis modern, yang berani, yang dapat berdiri sendiri,” tulis Kartini dalam suratnya kepada Estella Zeehandelaar pada 25 Mei 1899, sebuah harapan kecil bagi kita saat ini, tapi makna sesungguhnya adalah keinginannya melawan norma.

Cita-citanya tak biasa. Ia ingin menjadi penulis. Dengan nama samaran “Tiga Saudara”, ia menulis untuk surat kabar, termasuk artikel “Upacara Perkawinan pada Suku Koja” yang terbit di Holandsche Lelie saat ia berusia 14 tahun.

Tulisannya mengungkap kecerdasan dan kepekaan sosialnya.

Kartini juga seorang vegetarian, pilihan langka di zamannya. Dalam surat-suratnya, ia menyebutkan kebiasaan ini sebagai bentuk prinsip hidup sederhana.

Pembatasan hak perempuan tak membuatnya menyerah. Ia belajar sendiri, membaca buku dan koran Eropa, termasuk De Locomotief dari Semarang.

Ia menulis surat kepada sahabat-sahabatnya di Belanda, seperti Rosa Abendanon dan Stella Zeehandelaar. Surat-surat ini menjadi cikal bakal buku Habis Gelap Terbitlah Terang.

Terbit pada 1911 oleh J.H. Abendanon, buku ini berisi 106 surat yang menggambarkan perjuangan Kartini untuk dan kesetaraan gender.

“Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan wanita,” tulis Kartini kepada Prof. Anton pada 4 Oktober 1902.

Buku Habis Gelap Terbitlah Terang tak hanya terkenal di Indonesia. Kerennya, buku ini memiliki terjemahkan ke berbagai bahasa, seperti bahasa , Sunda, dan Jawa.

Edisi Inggrisnya, Letters of a Javanese Princess, bahkan mendapat perhatian oleh Eleanor Roosevelt, Si Trinil yang cerewet itu ternyata menginspirasi dunia.

Wawasan RA Kartini

Kartini kecil juga punya sisi lain yang menarik, Ia bercita-cita menjadi guru, meski tak terwujud karena dengan Raden Adipati Joyodiningrat di 1903, saat usianya 24 tahun.

Namun kemudian Sang suami mendukung mimpinya. ia mendirikan sekolah perempuan di Rembang, mengajarkan menjahit, menyulam, dan memasak.

Yayasan Kartini, berdiri melalui tangan keluarga Van Deventer, melanjutkan visinya dengan membuka sekolah di Semarang, , hingga Cirebon.

Fakta lain juga tentang Kartini Kecil ini tak kalah unik. Ia menguasai bahasa Belanda sejak kecil, memungkinkannya berkomunikasi dengan dunia luar.

Ia juga aktif berdiskusi tentang agama dan budaya, RA Kartini memang memiliki wawasannya yang sangat luas.

Hari Kartini 2025, yang jatuh pada Senin (21/4), menjadi momen untuk mengenang Kartini Kecil. Julukan Trinil dan Kuda Kore mengingatkan kita pada semangatnya yang tak pernah padam.

Ia menulis, “Tahukah engkau semboyanku? Aku mau!” pada surat tahun 1902, seolah meneriakkan tekadnya yang kuat.

Pada 17 September 1904 di usia 25 tahun, ia menghadap Sang Maha Kuasa, namun warisannya hidup melalui sekolah-sekolah dan bukunya yang abadi.

Mengutip dari laman resmi KemenPPPA, perjuangannya menginspirasi ribuan bahkan jutaan wanita di dunia, termasuk tokoh modern seperti Arvila Delitriana, sang insinyur jembatan LRT, juga Tri Mumpuni, wanita pelopor energi mikrohidro.

Kartini bukan sekadar nama di buku sejarah. Ia adalah Trinil, si cerewet yang membuka jalan bagi kesetaraan. Kisahnya mengajak kita menghargai dan keberanian, seperti yang ia lakukan sepanjang hidupnya.LIA