“Feel so dirty in my own body. You guys are not fans.”
Kalimat itu diunggah Nadin Amizah ke Instagram Story pada 5 Juli 2025, sehari setelah penampilannya di konser Pasar Senggol, Bekasi. Wajahnya tampak sembap, matanya basah, dan tubuhnya terbungkus sweater gelap. Ia tidak sedang menyanyikan lagu. Ia sedang merekam kemarahan.

Di kerumunan konser itu, tubuh Nadin mendapat sentuhan tanpa izin. Padahal tim keamanan telah siap. Tapi barisan yang rapat itu tetap memaksa jarak, dan ketika ia turun dari panggung, tangan-tangan asing merambat, seolah tubuhnya tersedia. Ini bukan pertama kalinya. Dua tahun lalu, pada sebuah acara di Bandung, ia mengalami kejadian serupa. Bahunya, punggungnya, bahkan bagian tubuh lainnya tak luput dari sentuhan.

Nadin Amizah alami lagi pelecehan di konser, ini bukan sekadar insiden. Ia menjadi pertanyaan terbuka tentang batas antara kekaguman dan pelanggaran. Apa yang membuat seseorang merasa berhak menyentuh seorang lain, seakan panggung memberi izin untuk menembus ruang privat?

Penyanyi muda ini bukan satu-satunya. Sejumlah artis perempuan pernah menyampaikan hal serupa. Namun ketika unggahan Nadin menyebar, dikutip media, dibicarakan warganet, dan ditanggapi dengan ragam emosi, yang muncul bukan hanya simpati, tapi juga pembenaran: “Namanya juga konser, pasti berdesakan.” Atau: “Kalau tak mau disentuh, jangan turun ke penonton.”

Pernyataan semacam itu mengaburkan inti persoalan. Konser bukan ruang bebas hukum. Kerumunan bukan dalih untuk kekerasan. Bahkan ketika artis memilih mendekati penonton, itu bukan berarti hak atas tubuhnya bisa ia lepaskan.

Namun demikian, respons aparat dan penyelenggara tetap datar. Tidak ada pernyataan terbuka dari promotor. Tidak ada laporan yang berkembang menjadi proses hukum. Nadin hanya menyampaikan perasaan: marah, kecewa, dan merasa kotor atas tubuh yang ia jaga.

Unggahannya mencatat lebih dari 2 juta tanggapan. Kutipannya tersebar luas:

“It happened again tonight. The body I protect so much was touched by someone. I feel so angry at myself for letting this happen again.”

Kalimat itu bukanlah pengakuan kesalahan. Itu cermin frustrasi, ketika pelaku tidak dikenali, tetapi trauma kembali hadir.

Relasi Palsu di Era Media Sosial

Masalahnya terletak lebih dalam. Relasi antara selebritas dan penggemar hari ini dibentuk oleh media sosial. Platform seperti Instagram dan TikTok menumbuhkan perasaan kedekatan yang nyaris personal. Penggemar merasa mengenal artis lebih dari sekadar lagu-lagunya: mereka tahu sarapan favorit, suasana kamar, dan siapa yang sedang dikencani. Namun relasi parasosial itu menyesatkan: ia menciptakan ilusi kedekatan, tanpa kedewasaan atas batasan.

Ketika artis seperti Nadin Amizah menyentuh audiens dengan lirik-lirik puitis dan gaya yang hangat, sebagian penonton lupa bahwa ia juga tetap seorang individu. Bahwa tampil di atas panggung bukan berarti bersedia hadir lebih dekat, apalagi bebas mendapat sentuhan. Ketika batas itu dilanggar, maka relasi berubah dari kekaguman menjadi pelanggaran.

Lebih jauh lagi, ini bukan hanya persoalan individu. Sistem keamanan acara tampak tak berkembang meski kejadian berulang. Penambahan personel, pengaturan jalur keluar, hingga edukasi dasar tentang etika di konser tampak minim. Apakah penyelenggara benar-benar belajar dari insiden masa lalu?

Sementara itu, publik cenderung melupakan. Kasus Nadin di Bandung 2023 hanya bertahan sebentar di ruang percakapan digital. Tidak ada evaluasi terbuka, tidak ada penyesuaian sistem. Maka yang terjadi pada Juli 2025 bukanlah kejutan, melainkan pengulangan.

Beberapa laporan menyebutkan bahwa kasus pelecehan dalam konser cukup tinggi. Menurut catatan dari Women’s Aid Organization di Malaysia dan riset di Inggris oleh YouGov, lebih dari separuh perempuan muda pernah mengalami pelecehan saat acara publik. Indonesia belum memiliki data khusus, tetapi insiden demi insiden menunjukkan pola yang tidak bisa diabaikan.

Lalu, sampai kapan? Jawabannya tidak mudah. Selama tidak ada komitmen dari penyelenggara, penegak hukum, dan masyarakat untuk melindungi tubuh individu di ruang publik, terutama perempuan, maka insiden seperti ini akan terus terjadi.

Dan ketika Nadin berkata, “You guys are not fans,” ia bukan sedang membenci publik. Ia sedang menggugat peran yang terlalu lama kita diamkan.