POSO, HAWA.ID – Ratusan warga Tentena, Kabupaten Poso menjadi korban kerusakan lingkungan akibat akifitas uji coba pintu air PLTA Poso I perusahaan PT. Poso Energy yang dilakukan sejak tahun 2019. Danau Poso yang menjadi sumber kehidupan masyarakat sekitar danau kini mulai rusak yang berakibat timbulkan kemiskinan.
Kepala Desa (Kades) Meko, Kecamatan Pamona Barat, I Gede Sukaartana bercerita bahwa Desa Meko yang berdiri sejak tahun 2004 dengan jumlah penduduk 860 Kelapa Keluarga (KK) menggantukan hidupnya dengan bertani.
“95 persen warga Desa Meko menjadi petani sawah dan kebun. Akibat akifitas uji coba pintu air PLTA Poso I perusahaan PT. Poso Energy, 96 Hektar sawah terendam sehingga warga tidak bisa bertani,” kata Gede, Sabtu (10/9/2022).
Menurutnya, sudah sejak tiga tahun terakhir warga tidak lagi bertani karena debit air danau Poso tidak pernah surut. Padahal jika melihat pasang surut air, seharusnya di bulan September ini warga sudah menanam.
“Kalau berdasarkan siklus tahunan pasang surut air danau Poso, pada bulan Maret hingga Juli warga tidak bisa menanam karena air danau sedang pasang. Namun di bulan Agustus hingga Februari, mereka bisa kembali bertani karena air sudah surut. Tapi setelah uji coba pintu air Poso 1 aktivitas PT. Poso Energy sejak 2019, air danau tidak pernah surut sehingga lahan pertanian milik warga terendam,” ujarnya.
Gede menambahkan, akibat warga tidak lagi bertani sejak tiga tahun terakhir, angka kemiskinan di Desa semakin meningkat, apalagi pertumbuhan penduduk juga meningkat setiap tahun dan lahan pertanian menyempit karena terendam akibat aktivitas PT. Poso Energy.
“Sebagian besar petani disini terlilit utang. Mereka meminjam uang di Bank untuk biaya produksi, namun ternyata gagal panen karena lahan pertanian terendam air. Petani tidak lagi punya penghasilan sehingga tidak bisa melunasi utang di Bank,” kata Gede.
Walaupun petani yang terdampak mendapatkan kompensasi ganti rugi dari perusahaan kata Gede, namun tidak dapat menutupi utang sebab nilai ganti rugi yang diberikan tidak sebanding dengan hasil pertanian yang seharusnya diperoleh jika mereka bisa bertani.
“Nilai ganti rugi dari perusahaan hanya 15 kg per are tahun 2019, 10 kg per are musim tanam tahun 2020 hingga 2021, sementara yang biasa mereka dapatkan bila bertani bisa mencapai 40 kg per are. Ganti rugi yang didapat habis untuk membayar utang,” ujarnya.
Margareta, warga Desa Meko yang ikut terdampak dari aktivitas PT. Poso Energy pasrah ketika anak keduanya terpaksa putus sekolah karena tidak mampu lagi membiayai uang sekolah. Sejak sawahnya terendam air tiga tahun lalu, Margareta tidak lagi memiliki mata pencarian, bahkan sampai terlilit utang di Bank.
“Anak saya tidak bisa lagi melanjutkan kuliah karena ada lagi biaya untuk membayar uang semester. Sebelumnya anak saya itu kuliah pelayaran di Jakarta. Tiga tahun lalu terpaksa putus kuliah karena tidak ada uang untuk bayar iuran semester. Uang ganti rugi dari perusahaan habis untuk bayar utang,” kata Margareta.
Hal yang sama dirasakan I Made Sadia, salah satu petani di Meko yang ikut terlilit utang karena 3 Ha lahan pertaniannya ikut terendam air akibat aktivitas PT. Poso Energy. Made juga tidak mampu membiayai sekolah anaknya.
Sejak sawah terendam, Made yang biasanya bisa mendapatkan hasil 9 ton beras untuk satu kali panen, hanya bisa mendapatkan hasil 1,5 ton satu kali panen. Bahkan sejak tiga tahun terakhir, Made terpaksa menjadi buruh harian di lahan orang untuk dapat memenuhi kebutuhan keluarganya.
“Sekarang saya jadi buruh harian di lahan orang dan dibayar Rp 80 ribu per hari. Ada ganti rugi dari perusahaan, tapi habis untuk bayar utang, bahkan uang itu tidak cukup. Saya masih kekurangan 13 juta,” ujar Made.
Made meminjam uang untuk biaya produksi mulai dari pembelian solar, pupuk dan obat-obat pertanian. Tapi mengalami gagal panen, sawah terendam air danau sehingga hutang tidak bisa dilunasi.ECA