PALU, HAWA – Kelangkaan dan mahalnya harga pupuk semakin memperburuk kondisi petani di Sulawesi Tengah. Menurut survei terbaru dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI) 2024, 14% masyarakat Sulawesi Tengah mengeluhkan kelangkaan pupuk.
Situasi ini membuat para petani semakin terpuruk, terutama yang berstatus miskin ekstrem.
Ahmad Ali, Bakal Calon Gubernur Sulawesi Tengah, menyatakan keprihatinannya terhadap kondisi ini.
Ia menegaskan bahwa mahalnya harga pupuk telah membuat para petani semakin sulit bertahan.
“Kalaupun ada pupuk yang tersedia, harganya sudah mahal. Alasannya bermacam-macam, mulai dari tata niaga yang panjang hingga disinyalir ada pihak tertentu yang mengambil keuntungan. Rumit sekali,” ujarnya pada Selasa (23/07).
Berdasarkan data BPS Sulawesi Tengah 2023, jumlah petani di Sulawesi Tengah mencapai 457.605 orang.
Dari jumlah tersebut, 123.014 orang merupakan petani milenial yang berusia 19–39 tahun, atau sekitar 28,63 persen dari total petani di Sulteng.
Selain itu, 49.536 petani berstatus miskin ekstrem, menjadi kelompok paling terdampak oleh kelangkaan dan mahalnya pupuk.
Ahmad Ali mengungkapkan bahwa kenaikan harga pupuk sangat mempengaruhi biaya produksi para petani.
Kondisi ini paling dirasakan oleh petani penyewa lahan yang harus menanggung biaya produksi yang lebih tinggi.
“Dengan kondisi seperti itu, para petani penyewa lahan bakal paling tertekan karena biaya produksi semakin tinggi,” jelasnya.
Provinsi Sulawesi Tengah sebenarnya memiliki potensi besar untuk menjadi penyangga pangan nasional.
Dengan luas lahan pertanian cadangan pangan berkelanjutan mencapai kurang lebih 400 ribu hektar,
Sulawesi Tengah seharusnya dapat meningkatkan produktivitas pertaniannya. Namun, kelangkaan pupuk menjadi penghambat utama dalam mencapai potensi tersebut.
Ahmad Ali berharap pemerintah dapat menambah alokasi pupuk bersubsidi agar para petani tidak semakin terpuruk.
“Alokasi pupuk bersubsidi itu sebaiknya ditambah. Kalaupun tidak lebih tinggi, setidaknya alokasi itu bisa sama dengan tahun lalu,” harapnya.
Ia juga menekankan bahwa subsidi pupuk seharusnya diberikan berdasarkan volume kebutuhan petani, bukan hanya berdasarkan anggaran yang tersedia.
Ahmad Ali juga menyoroti pentingnya mengatasi tata niaga pupuk yang rumit dan memberantas pihak-pihak yang mengambil keuntungan dari situasi ini.
“Salah satu masalahnya adalah subsidi diberikan berbasiskan anggaran, bukan berdasarkan volume pupuk yang dihitung sesuai dengan kebutuhan petani. Di sisi lain, biaya produksi pupuk amat bergantung pada harga gas dan nilai kurs rupiah,” tegasnya.
Krisis pupuk di Sulawesi Tengah tidak hanya berdampak pada petani miskin, tetapi juga mengancam ketahanan pangan regional dan nasional.
Solusi yang tepat dan cepat sangat dibutuhkan untuk mengatasi masalah ini agar para petani tidak semakin terpuruk dan dapat meningkatkan produktivitas pertanian mereka.***