Budaya Menjaga Keperawanan

Pada usia rata-rata 23,6 tahun, kehilangan keperawanan di Indonesia terjadi jauh lebih lambat dari banyak negara lain. Angka ini mencerminkan kuatnya norma konservatif dan religius yang membingkai kehidupan seksual generasi muda.

Bersama Malaysia, Indonesia termasuk yang tertinggi di dunia; memang kawasan Asia-Pasifik cenderung memiliki usia pertama seks lebih tinggi dari negara Barat. Sebagai perbandingan, di negara-negara Eropa dan Utara, rata-rata usia hubungan seksual pertama berkisar 17–18 tahun.

Norma sosial tradisional menekankan pentingnya menjaga keperawanan hingga pernikahan, sebuah nilai yang tetap dipegang teguh oleh banyak keluarga dan institusi.

Peta global rata-rata usia saat pertama kali berhubungan seks. Asia cenderung memiliki usia lebih tinggi dibanding Amerika dan Eropa. Benua Eropa dan Amerika usia rata-rata pertama seks yang lebih rendah. Pola ini menunjukkan pengaruh norma dalam menentukan usia hubungan seksual pertama di berbagai wilayah.

Berdasarkan infografis Average Age to Lost Virginity in Asia Pacific Countries, 2024 oleh Seasia.co

Namun di balik statistik formal tersebut, terselip realitas yang lebih kompleks. Nilai konservatif dan ajaran agama memang mendominasi wacana publik secara formal. Bahkan pemerintah mengesahkan aturan yang melarang seks di luar nikah dengan ancaman pidana.

Akan tetapi, generasi muda tumbuh di era internet dan globalisasi yang perlahan menggeser cara pandang mereka. Secara diam-diam, terjadi pergeseran sikap terhadap seksualitas dan keperawanan di kalangan muda urban. Percakapan tentang seks yang dulunya tabu kini mulai muncul, meski sering kali dalam lingkup terbatas atau anonim.

Pergeseran Sikap di Kalangan Generasi Muda

Banyak remaja Indonesia mengakui norma untuk tidak berhubungan seks sebelum menikah masih kuat, namun dorongan eksplorasi juga kian besar. Sebagian pemuda di kota besar mulai memandang seks pranikah sebagai bagian dari hubungan intim yang wajar, bukan semata pelanggaran moral.

Fenomena ini kerap berlangsung di bawah radar sosial. Data IDHS 2017 mencatat hanya 7,6% remaja yang mengaku pernah melakukan hubungan seks pranikah. Persentase itu rendah, namun para peneliti menduga angka sebenarnya lebih tinggi karena banyak yang enggan mengaku akibat stigma.

Studi di , misalnya, menunjukkan tabu sosial membuat banyak remaja menyembunyikan perilaku tersebut, sehingga data survei tak mencerminkan realitas. Masyarakat masih menganggap keperawanan perempuan sangat penting, mendorong gadis muda untuk menyembunyikan pengalaman seksual demi menghindari penghakiman.

Sementara itu, sebagian pemuda laki-laki menghadapi paradoks antara tuntutan menjaga kehormatan pasangan dan keinginan pribadi, yang kadang disalurkan lewat cara-cara terselubung.

“Pengetahuan mereka tentang seks terbatas karena pendidikan seks tidak diajarkan secara formal, baik di sekolah maupun di rumah,” ujar sebuah laporan The Post menggambarkan minimnya bekal pendidikan seks para remaja.

Kurikulum formal nyaris tak menyentuh aspek kesehatan reproduksi dan persiapan emosional. Padahal rasa ingin tahu remaja terus tumbuh. Alhasil, banyak muda belajar dari sumber lain yang belum tentu akurat, seperti internet atau teman sebaya. Di sisi lain, bimbingan orang tua sering kali terhambat rasa malu membicarakan seks.

Pendidikan Seks dan Tabu yang Menghambat

Keterbatasan pendidikan seks formal berkolaborasi dengan tabu sosial menciptakan jurang antara norma dan perilaku. Banyak remaja akhirnya mengambil risiko dalam sunyi. Ironisnya, hanya 27,6% remaja Indonesia yang memakai kondom saat pertama kali berhubungan seks – terendah di antara negara-negara yang disurvei.

Konsekuensi kurangnya edukasi dan keterbukaan ini nyata: kehamilan tidak direncanakan, aborsi tidak aman, hingga risiko infeksi menular seksual.

Sebuah artikel World of Buzz pernah menyimpulkan bahwa orang Asia cenderung terlambat kehilangan keperawanan karena “didikan konservatif dan kurangnya pendidikan seks sejak dini”.

Pernyataan ini menggambarkan dilema di Indonesia. Norma konservatif menunda aktivitas seksual. Namun ketika hasrat itu akhirnya tersalurkan, minimnya edukasi membuatnya rentan terhadap masalah.

Tabu seputar seks juga tampak dari perilaku sehari-hari. Membeli kondom di apotek kerap menjadi pengalaman menegangkan bagi kaum muda karena takut mendapat cap negatif di masyarakat. Stigma demikian membuat banyak orang enggan terbuka soal kontrasepsi, memperlebar jurang antara nilai ideal dan kebutuhan praktis muda.

Meski tantangan besar, tanda-tanda perubahan tetap muncul. Generasi baru cenderung lebih menyuarakan isu ini lewat komunitas, , hingga karya kreatif. HAWA pun secara rutin mengangkat topik seksualitas secara santun dan edukatif, menjadikan iklim diskusi yang perlahan terbuka. Nilai-nilai konservatif mungkin belum pudar, tapi mulai berdampingan dengan sudut pandang berbeda dari generasi penerus.

Menuju Keseimbangan Baru

Di tengah dominannya wacana moral formal, Indonesia menyaksikan dua arus yang kontras namun saling terkait. Di satu sisi, nilai konservatif dan agama masih menjadi pijakan norma publik. Hal ini terlihat dari rata-rata usia kehilangan keperawanan yang tinggi dan regulasi yang ketat.

Di sisi lain, di bawah permukaan, sikap generasi muda terus bergeser mencari ruang ekspresi yang lebih jujur. Narasi besar bangsa ini sedang menuju keseimbangan antara menjaga nilai dan mengakui realitas biologis serta emosional anak mudanya.

Percakapan tentang seksualitas tak lagi bisa disisihkan dari ruang hidup generasi muda. Bukan soal menentang nilai, melainkan memahami realitas yang sedang berubah. Banyak anak muda tumbuh dengan harapan yang berbeda dari orang tuanya—tentang tubuh, cinta, dan pilihan hidup. Mereka tidak selalu menolak aturan, tapi ingin terdengar tanpa prasangka. Di tengah perubahan ini, barangkali kebutuhan utama bukanlah jawaban pasti, melainkan ruang untuk berbicara dengan jujur.