POSO, HAWA.ID – Perkumpulan Jurnalis Wanita (JUWITA), bekerja sama dengan rumah produksi Alfatwa Multimedia, secara resmi meluncurkan film dokumenter berjudul “Kopi Tua Desa Katu” pada Sabtu malam (17/5/2025) di Balai Desa Katu, Kecamatan Lore Tengah, Kabupaten Poso.

Acara peluncuran tersebut dihadiri masyarakat dan tokoh daerah, termasuk Kepala Desa dan Sekretaris Desa Katu, perangkat desa, tokoh , tokoh pemuda, tokoh , Kopi Enthusiast Ade Cholik Mustaqim, serta Direktur Relawan Untuk Orang dan Alam (ROA), Mohammad Subarkan.

Diskusi film yang berlangsung setelah pemutaran dipandu oleh moderator Yardin Hasan.

Film berdurasi sekitar 25 menit tersebut terinspirasi dari cerita lisan para disana tentang keberadaan pohon-pohon kopi tua yang ditanam sejak masa kolonial Belanda di kawasan Kompo.

Ketua JUWITA, Nainggolan, menyatakan bahwa film itu merupakan bentuk penghormatan terhadap warisan sejarah dan identitas masyarakat Katu.

“Kopi tua ini bukan hanya tanaman, melainkan simbol perjuangan, perjanjian leluhur, dan identitas masyarakat Katu. Kami merasa perlu mengangkat kisah ini ke layar agar generasi muda bisa lebih mengenal dan menghargai warisan mereka,” ujar dalam sambutannya.

Film yang diproduksi mtersebut sebagai bagian dari upaya jurnalisme komunitas yang mengangkat isu-isu lokal.

“Kami bersyukur bisa menjadi mata dan telinga. Dengan adanya film ini, masyarakat luas yang belum pernah ke Katu atau belum mencicipi kopi tua bisa merasakannya lewat cerita visual yang kami hadirkan,” ujarnya.

Dalam nobar tersebut, masyarakat diberi kesempatan untuk memberi tanggapan dalam film, sekaligus memberikan masukan.

Totua di Katu, Mature Rore menilai film tersebut menceritakan tentang sejarah perjuangan mempertahankan sebuah wilayah dan kebersamaan masyarakat Desa Katu.

“Bagi kami masyarakat Des Katu, kopi bukan hanya minuman tetapi punya sejarah perjuangan yang sampai sekarang masih kami ingat,” ucapnya.

Selanjutnya Tokoh pemuda, Golstar menambahkan dalam film tersebut menjelaskan tentang potensi Desa Katu serta peran dan kopi.

“Kami sebagai pemuda termotivasi setelah menonton film ini, kami harusnya bangga dan menjaga apa yang sudah ada di desa kami,” tuturnya.

Kemudian, perwakilan Desa Katu, Menis Torae mengemukakan, film tersebut menunjukkan secara jelas tempat kopi pertama ditanam di Desa Katu yang jauh dari perkampungan.

“Saya sudah hampir 20 tahun lebih di Desa Katu tetapi belum pernah melihat langsung kopi tua itu karena medan yang sangat sulit,” sebutnya.

Menanggapi masukan dari masyarakat Desa Katu, Kopi Enthusiast Ade Cholik Mustaqim dalam diskusi tersebut menyampaikan bahwa Desa Katu punya sejarah yang unik sehingga punya peluang besar untuk mempromosikan kopi.

“Dilakukan pendampingan untuk menghasilkan produk terbaik dan bisa dikenal lebih luas,” kata Ade.

Sementara itu Direktur Relawan Untuk Orang dan Alam (ROA), Subarkan menilai film tersebut menampilkan profil Desa Katu yang tidak dimiliki daerah lainnya.

“Harapannya, film ini menjadi pintu masuk bagi publik untuk mengenal Desa Katu lebih dalam. Tidak sekadar desa penghasil kopi, tapi desa yang menyimpan sejarah yang kaya dan kehidupan budaya yang lestari,” ujarnya.

Subarkah juga mengapresiasi keterlibatan aktif masyarakat Desa Katu dalam rangkaian Festival Tampo Lore.

“Ini bukan hanya tentang kopi atau film, tapi tentang jati diri masyarakat Lore yang kuat dan sadar akan nilai budayanya sendiri,” tambahnya.

Dia mengemukakan, film ini akan resmi dilakukan pemutaran film perdana di Festival Tampo Lore pada akhir Juni 2025.

“Film kopi tua Desa Katu dapat disaksikan di Festival Tampo Lore,” tutup Subarkah.

Sinopsi film Kopi Tua Desa Katu

Di balik lebatnya hutan Lore Lindu, tersembunyi warisan yang nyaris dilupakan—pohon-pohon kopi tua yang telah tumbuh sejak zaman kolonial, berdiri diam sebagai saksi sejarah masyarakat adat Katu.
Film Kopi Tua Desa Katu menyingkap perjalanan sebuah janji lama: ketika leluhur masyarakat Katu menanam kopi sebagai syarat untuk kembali ke tanah adat mereka yang pernah dirampas.

Lebih dari sekadar dokumentasi, film ini merupakan panggilan untuk menjaga: bahwa warisan tidak akan bertahan karena usia, tapi karena dihormati, diteruskan, dan dirawat bersama.

Film ini juga menampilkan kekayaan alam dan budaya Desa Katu, dari ladang padi, air terjun alami, hingga situs megalit berusia ribuan tahun menunjukkan potensi besar yang tersimpan di desa ini.

Peluncuran film Kopi Tua Desa Katu menjadi momen penting untuk mendorong kesadaran kolektif akan pentingnya pelestarian warisan budaya dan alam lokal di tengah arus modernisasi.ECA