HAWA.ID – Ceramah Oki Setiana Dewi yang dianggap mernomalisasikan KDRT mendapat tanggapan dari Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Komnas menegaskan bahwa mengungkapkan kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga bukanlah menyebarkan aib rumah tangga.
Isi ceramah Oki Setiana Dewi yang viral:
Jadi ada suami istri di Jeddah lagi bertengkar, suaminya pada saat itu marah luar biasa ke istrinya sampai wajah istrinya dipukul. Istrinya menangis saat itu. Kemudian tidak lama bel rumah berbunyi dan sang istri langsung membukakan pintu tersebut, dari kejauhan yang datang terlihat adalah ibu dari sang istri tersebut.
Saat melihat siapa yang datang sang suami sangat deg-degan dalam hati dia sangat takut, ya Allah ini istriku pasti ngadu sama mertuaku karena habis ditampar sama aku. Setelah bertemu dengan ibunya, sang ibu bertanya kepada anaknya ini wahai anakku kenapa kamu menangis? Langsung sang anak menjawab, ya Allah ibu tadi aku berdoa sama Allah aku rindu sama ibu dan bapak, eh taunya Allah langsung mengabulkan doa aku, makin terharu aku sampai aku menangis ketemu ibu dan bapak.
Suaminya dari kejauhan melihat dan mendengar apa yang dibilang sang istri, dia kaget bukan main padahal istrinya bisa saja mengadukan apa yang baru saja terjadi padanya, bahwa ada kekerasan dalam rumah tangga di rumah ini baru saja. Dia bisa saja ngadu kalau baru saja aku pukul, kan kadang perempuan suka lebay ya melebih-lebihkan cerita. Nggak sesuai dengan kenyataan kalau lagi kesal ceritanya.
Mendengar pernyataan itu, hati sang suami langsung luluh, ya Allah istrinya menyimpan aib aku. Jadi nggak perlu menceritakan aib yang sekiranya membuat menjelek-jelekkan pasangan kita sendiri.
Dalam ceramahnya, Oki menceritakan tentang seorang suami yang hatinya luluh karena istrinya menyimpan aibnya. Aib itu adalah saat sang suami menampar istrinya.
“Jadi nggak perlu menceritakan aib yang sekiranya membuat menjelek-jelekkan pasangan kita sendiri,” demikian kata Oki.
Menanggapi ceramah Oki Setiana Dewi, Komnas Perempuan meminta agar para wanita korban kekerasan jangan takut untuk melaporkan kejadian yang dialaminya. Apalagi berdasarkan data Komnas Perempuan, selama lima tahun terakhir (2016-2020) terdapat 25.841 kasus kekerasan terhadap isteri, baik dalam bentuk kekerasan fisik, psikis, seksual dan ekonomi. Data tersebut tentunya puncak gunung es. Lebih banyak korban yang tidak melapor atau bercerita.
“Korban-korban baik yang melapor ataupun tidak, tidaklah melebih-lebihkan apa yang dialaminya, namun mencoba mendapatkan keadilan dan pemulihannya termasuk mencari bantuan untuk mendapatkan bantuan dan dukungan,” lanjut Siti.
Siti menegaskan jika wanita menceritakan kekerasan dalam rumah tangga khususnya kepada orangtua bukanlah aib. Karena orangtua memiliki fungsi untuk memastikan anaknya diperlakukan dengan baik, termasuk membantu menyelesaikan permasalahan rumah tangga. Demikianpula ketika wanita mengakses lembaga layanan atau mengklaim keadilannya kepada system peradilan pidana, itu juga bukan aib.
Siti memberikan siklus KDRT yang terjadi dalam rumah tangga.
1. Meningkatnya ketegangan antara suami-istri.
2. Terjadi kekerasan fisik,psikis,seksual, dan ekonomi.
3. Minta maaf dan masa ‘bulan madu’.
4. Hubungan kembali “membaik”.
Siklus KDRT tersebut menurut Siti dapat berputar kembali, yang kuantitas dan kualitas kekerasan akan terus meningkat dan bahkan dapat berakhir dengan kematian korban.
“Jika tidak dikenali dan tidak diselesaikan, tamparan suami akan terus berulang dan semakin intens kualitas dan kualitasnya. Menceritakan bukan untuk membuka aib, melainkan untuk bersama-sama memutus rantai kekerasan dalam perkawinan dan membangun rumah tangga yang Sakinah mawadah wa Rahman,” pungkas Siti.
Saling menutup aib dalam rumah tangga memang harus sebagaimana firman Allah SWT: “… mereka (istri-istrimu) merupakan pakaian bagimu dan kamu merupakan pakaian bagi mereka…,” (QS Al-Baqoroh : 187).
Dalam hadis dari Abu Sa’id al-Khudriy berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya manusia paling jelek kedudukannya di hari kiamat adalah seorang laki-laki (suami) yang bercampur (bersetubuh) dengan istrinya, kemudian membeberkan rahasia istrinya tersebut”. (HR Muslim).
Larangan membuka aib suami dalam Islam ini juga didukung oleh hadist lain saat Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah seorang hamba menutupi (aib) seorang hamba (yang lain) di dunia melainkan Allah akan menutupi aibnya di hari kiamat”. (HR Muslim)
Istri harus menutupi aib suami, begitupun suami harus menutupi aib istri. Namun aib seperti apa yang harus kita tutupi? Apakah ketika istri mendapatkan KDRT kita harus juga diam karena suami dianggap sebagai pemimpin rumah tangga, sehingga harus dituruti segala perintahnya?
Masih banyak perempuan di luar sana yang bereaksi pasif dan apatis terhadap tindak kekerasan yang dialaminya. Ini menjadikan kondisi tersembunyi terjadinya tindak kekerasan pada istri yang diperbuat oleh suaminya. Istri memendam sendiri persoalan tersebut karena menganggap itu aib yang tidak boleh diceritakan, suami dominan terhadap istrinya.
Padahal dampak kekerasan terhadap istri dapat mengakibatkan sakit fisik, tekanan mental, menurunnya rasa percaya diri dan harga diri, mengalami rasa tidak berdaya, mengalami ketergantungan pada suami yang sudah menyiksa dirinya, mengalami stress pasca trauma, mengalami depresi, dan keinginan untuk bunuh diri.
Allah berfirman “Katakanlah: Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar (menganiaya)”(QS A; A’raf ayat 33). Dalam ayat tersebut Islam melarang tindakan kekerasan karena itu melanggar hak manusia.
Rasulullah bersabda: “Takutlah engkau semua hindarkanlah dirimu semua akan perbuatan menganiaya, sebab menganiaya itu akan merupakan berbagai kegelapan pada hari kiamat,”(HR Imam Muslim)
Berdasarkan data Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Tahun 2021, sepanjang tahun 2020 tercatat kekerasan terhadap perempuan sebanyak 299.911 kasus. Dari 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan yang tercatat di Komnas HAM, 291.677 kasus bersumber dari Pengadilan Agama, lembaga layanan mitra komnas perempuan sejumlah 8234 kasus, dan unit pelayanan dan rujukan sebanyak 2389 kasus.
Sementara itu, kasus kekerasan seksual merupakan kasus tertinggi dalam kekerasan terhadap perempuan, yakni sebanyak 962 kasus yang terdiri dari 166 kasus pencabulan, 299 kasus permerkosaan, 181 kasus pelecehan seksul, dan sebanyak 5 kasus persetubuhan. Tidak hanya terjadi di ranah komunitas/publik, kasus kekerasan terhadap perempuan juga terjadi di lingkungan rumah tangga. Sebanyak 6480 kasus terjadi kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga.
Dari data tersebut, sebanyak 6480 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi dalam rumah tangga. Pemukulan, penganiayaan belum lagi kekerasan verbal lainnya yang terjadi terhadap perempuan dalam rumah tangga. KDRT bukan aib yang harus ditutupi, perempuan harus berani speak up ketika mengalaminya.
KDRT Bukan Aib, Perempuan Harus Bisa Membela
Ketua DPR RI Puan Maharani menilai kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah hal yang sama sekali tidak boleh dibenarkan dengan alasan apapun. Oleh karenanya, normalisasi segala bentuk KDRT tidak boleh terjadi.
“KDRT sama sekali tidak dapat dibenarkan. Namanya KDRT ya tetap KDRT, apapun alasan di baliknya. Karena itu, saya mengajak semua pihak khususnya perempuan, sebagai pihak yang kerap menjadi korban, untuk tidak sedikit pun menormalisasi KDRT,” ujar Puan dalam keterangan tertulis, Jumat (4/2/2022).
Perempuan pertama yang menjabat sebagai Ketua DPR RI itu mengatakan Indonesia sebenarnya sudah berada dalam kondisi darurat KDRT. Puan menyebut banyak kasus-kasus KDRT yang kemudian tidak lanjut diproses hukum karena korban merasa takut atau malu.
“Saya bisa memahami perasaan seperti itu. Tapi perlu diingat, KDRT itu bukanlah suatu aib. Sebagai perempuan, kita harus bisa membela hak-hak kita dan menjaga kehormatan sebagai insan manusia yang setara,” imbuh Puan.
Puan mengatakan, persoalan KDRT tidak boleh dianggap sebagai hal yang normal dan biasa karena bisa berdampak pada sakit bahkan trauma fisik dan juga psikis.
“Jadi bagi para korban KDRT, jangan pernah takut meminta pertolongan apabila mengalami kekerasan dari pasangannya,” tegasnya.
Puan mengingatkan, Indonesia sudah memiliki Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT yang disahkan di era Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri.
“Payung hukum yang dibuat di era kepemimpinan presiden perempuan pertama Indonesia ini, harus menjadi pelindung bagi perempuan-perempuan atau ibu-ibu di Tanah Air dari ancaman KDRT, dan juga sebagai alat perjuangan untuk mencari keadilan,” jelas Puan.
Oleh karena itu, mantan Menko PMK ini mengajak para perempuan Indonesia yang menjadi korban atau melihat KDRT yang dialami sesamanya untuk tidak tinggal diam.
“Dengar dan dukung para korban-korban dengan menghargai keberanian mereka mengungkap apa yang mereka alami di hadapan hukum, agar Indonesia terbebas dari kasus-kasus KDRT,” imbuh Puan.***
Selamat Hari Perempuan Internasional