PALU, .ID – Kepolisian Daerah () Sulawesi Tengah () mengungkap bahwa pihaknya telah menerima laporan kasus dugaan kekerasan seksual berupa pemerkosaan dan aborsi yang dilaporkan, Rabu sore (24/8/2022).

“Benar telah menerima Laporan Polisi dengan nomor LP/B/240/VIII/2022/SPKT/ SULAWESI TENGAH, tanggal 24 Agustus 2022  terkait kekerasan seksual dan aborsi,” kata Kepala Sub Bidang Penerangan Masyarakat Bidang Hubungan Masayarakat (Kasubbid Penmas Bidhumas) Polda Komisaris Polisi (Kompol) Sugeng Lestari via whatsapp chat, Kamis (25/8/2022).

Menurut Sugeng, kasus dugaan pemerkosaan dan aborsi dilaporkan Kamis sore, sementara laporan polisinya baru masuk di Ditreskrimum pada kamis.

“ Laporan polisinya hari ini baru masuk di Ditreskrimum, akan dipelajari dulu dan menyiapkan tata naskah nya,” ujarnya.

Ia pun mengungkap inisial pelapor dan terlapor terkait kasus itu. “Kami tidak tahu apakah terlapor pengurus salah satu partai karena dalam laporan tidak disebutkan hal tersebut. Pelapor atas nama D (26) warga Tolitoli, terlapor atas nama IS,” jelasnya.

Sebelumnya Jaringan Advokasi Untuk Perempuan Sulawesi Tengah (Sulteng) mendampingi korban kasus dugaan kekerasan seksual berupa pemerkosaan dan pemaksaan aborsi yang dilakukan oknum petinggi partai politik (Parpol) Sulteng melapor ke Polda Sulteng, Rabu (24/8/2022).

Laporan polisi tersebut tercatat dengan nomor LP/B/240/VIII/2022/SPKT/POLDA SULAWESI TENGAH. Tanggal 24 Agustus 2022.

Juru bicara Jaringan Advokasi Untuk Perempuan Sulteng, Fitriani kepada wartawan mengatakan, jaringan advokasi yang terdiri dari organiasi perkumpulan Libu perempuan, solidaritas perempuan (SP) Sulteng, KPPA Sulteng, KPI Sulteng, LBH APIK Sulteng, dan LBH Catur Sulteng saat ini tengah mendampingi pelaporan dugaan kasus pemerkosaan dan pemaksaan aborsi yang dialami seorang perempuan berusia 26 tahun, warga Kabupaten Tolitoli ke Unit Pelayanan Perempuan dan (PPA) Polda Sulteng.

Menurutnya, terlapor diduga merupakan seorang petinggi salah satu Parpol Sulteng. Korban awalnya kenal dengan pelaku sejak tahun 2016 dalam sebuah organisasi. Pada 2019, korban dan pelaku menjalin hubungan asmara.

Selama masa pacaran, korban mengaku berhubungan layaknya isteri badan dengan pelaku karena dipaksa dan di iming -imingi akan dinikahi.

Dari hubungan itu, kata Fitriani, korban akhirnya hamil, dan pelaku tidak bertanggungjawab, bahkan meminta korban untuk menggugurkan kandungannya yang saat itu sudah berusia empat bulan.

“Kekerasan dengan Aborsi paksa terjadi salah satu hotel di Palu. Aborsi paksa dilakukan dengan cara menekan perut korban dengan keras menggunakan tangan oleh pelaku dengan harapan janin dalam kandungan keluar. Selain itu mulut korban juga disekap dengan bantal. Janin dalam perut korban akhirnya keluar satu minggu setelah pemaksaan aborsi, bahkan korban sempat mengalami pendarahan,” kata Fitriani dalam keterangan persnya, di Sekretariat Bersama (Sekber) jurnalis.ECA