Awal Mula di Era Orde Baru (1990-an)
Pulau Gag di Kabupaten Raja Ampat telah lama terkenal kaya akan deposit nikel. Sebuah studi mencatat publik telah mengetahui potensi nikel di Pulau Gag sejak akhir 1960-an, ketika Pacific Nickel Co. menemukan cadangan besar bijih nikel di sana. Memasuki era Orde Baru, perhatian investor asing kian meningkat. Pada 1995, perusahaan pertambangan raksasa asal Australia, BHP Billiton, mulai bekerja sama dengan BUMN PT Aneka Tambang (Antam) untuk menggarap nikel di Pulau Gag.
Kolaborasi ini menghasilkan pendirian PT Gag Nikel tahun 1996, sebagai perusahaan patungan dengan komposisi saham BHP melalui anak usahanya Asia Pacific Nickel Pty. Ltd sebesar 75%, dan Antam 25%. Pulau Gag memiliki salah satu cadangan nikel terbesar di Indonesia, pada perkiraannya menyebut sekitar 240 juta ton bijih dengan kadar 1,35% Ni (sekitar 3,24 juta ton logam nikel).
Pemerintah menerbitkan Kontrak Karya (KK) generasi VII untuk PT Gag Nikel sebagai tindak lanjut. Pemerintah menandatangani kontrak tersebut pada 19 Januari 1998, menjelang akhir masa jabatan Presiden Soeharto. KK tersebut memberi PT Gag Nikel konsesi pertambangan seluas 13.136 hektare yang mencakup hampir seluruh Pulau Gag.
Pemerintah dan investor memproyeksikan pembangunan tambang nikel di kawasan terpencil Papua Barat akan menghasilkan keuntungan besar dan meningkatkan pendapatan negara. Mereka bahkan merencanakan investasi lebih dari US$4,5 miliar, termasuk pembangunan smelter di Pulau Halmahera, Maluku.
Regulasi Baru: Hutan Lindung Menghentikan Tambang (1999)
Tak lama setelah terbitnya KK, Indonesia memasuki era reformasi dengan kebijakan lingkungan yang lebih ketat. Pada 1999, pemerintah mengesahkan Undang-Undang Kehutanan No. 41/1999 yang melarang penambangan terbuka (open pit) di kawasan hutan lindung. Pemerintah menetapkan hutan di Pulau Gag yang masuk dalam konsesi PT Gag Nikel sebagai kawasan hutan lindung, sehingga tidak mengizinkan lagi kegiatan penambangan. Regulasi ini membuat proyek tambang di Gag berhenti total sebelum memasuki tahap produksi.
Industri pertambangan tentu tidak tinggal diam. Pada awal 2000-an, perusahaan tambang melakukan lobi intensif agar larangan tersebut akhirnya longgar. Pemerintah pun mengkaji ulang kebijakan itu. Pada 2004, pemerintah memberikan pengecualian bagi 13 perusahaan tambang yang telah memiliki izin sebelum UU 41/1999, termasuk proyek tambang Gag, untuk melanjutkan operasi di hutan lindung tertentu.
Presiden Megawati mengambil keputusan kontroversial ini dengan dalih menjaga investasi yang sudah telanjur berjalan. Namun, aktivis lingkungan dan komunitas internasional langsung melontarkan kritik tajam. UNESCO bahkan mengirim surat kepada DPR RI saat itu untuk mengingatkan bahwa Raja Ampat telah berstatus sebagai situs Warisan Dunia Bahari dan mendesak pemerintah menghentikan eksploitasi yang mengancam lingkungan.
Kontroversi dan Tekanan Publik (2002–2008)
Seiring lobi perusahaan tambang, kajian ilmiah justru mengukuhkan pentingnya konservasi Raja Ampat. Tahun 2002, penelitian organisasi konservasi internasional mengungkap kepulauan Raja Ampat memiliki kekayaan terumbu karang dan keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia, rumah bagi 64% spesies karang yang terkenal. Temuan ini memperkuat alasan bahwa aktivitas tambang di pulau-pulau Raja Ampat berisiko menghancurkan ekosistem tak tergantikan.
Gelombang penolakan datang dari berbagai pihak. Masyarakat adat Papua menegaskan bahwa tanah dan hutan di Raja Ampat bukan “tanah kosong” – mereka hidup bergantung pada alam secara turun-temurun, dan menolak klaim sepihak perusahaan. Organisasi lingkungan seperti JATAM dan WALHI menyerukan penghentian proyek tambang Gag demi melindungi lingkungan serta mata pencaharian masyarakat lokal.
Suara-suara ini bahkan telah tersampaikan dalam Rapat Umum Pemegang Saham BHP di London dan Melbourne, meski pihak manajemen perusahaan berusaha mengabaikannya. Selain aspek lingkungan, muncul pula kekhawatiran bahwa keberadaan tambang akan memicu migrasi penduduk luar secara besar-besaran, yang dapat menggeser komposisi demografis dan mengancam hak-hak masyarakat adat setempat.
Tekanan publik dan ketidakpastian regulasi membuat investor asing berpikir ulang. BHP Billiton akhirnya memutuskan mundur dari proyek Pulau Gag pada tahun 2008, setelah mengucurkan investasi sekitar US$75 juta selama satu dekade untuk eksplorasi dan studi. Secara resmi, BHP menyatakan penarikan diri ini karena gagal mencapai kesepakatan joint venture dengan Antam untuk membangun fasilitas pengolahan (smelter) di Halmahera sebelum batas waktu Oktober 2008. Namun banyak pihak menilai keputusan tersebut tidak lepas dari sentimen negatif dan risiko reputasi akibat kontroversi lingkungan dan sosial yang terus menyelimuti proyek ini. Mundurnya BHP menandai berakhirnya keterlibatan mitra asing Australia dalam tahap awal sejarah tambang nikel Raja Ampat.
Antam Kuasai Penuh dan Transisi Izin (2008–2017)
Pasca keluarnya BHP, kepemilikan PT Gag Nikel beralih sepenuhnya ke Antam. Sejak 2008, Antam mengakuisisi 100% saham Asia Pacific Nickel Pty. Ltd, menjadikan PT Gag Nikel sebagai anak usaha Antam sebagai pemegang kendali sepenuhnya. Meski demikian, operasi tambang di Pulau Gag tak serta merta langsung mulai. Status kawasan hutan lindung masih menjadi kendala yang perlu terselesaikan. Selain itu, pada tahun 2009, Indonesia memberlakukan UU Minerba No. 4/2009 yang mengubah sistem perizinan pertambangan dari kontrak karya menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP). PT Gag Nikel pun harus menyesuaikan perizinan sesuai aturan baru ini.
Antam dan pemerintah daerah Papua Barat Daya perlahan menyiapkan landasan operasional tambang. Pengurusan Izin-izin lingkungan dan kehutanan, termasuk izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) mengingat Pulau Gag berstatus hutan lindung. Setelah melalui serangkaian studi dan evaluasi, Antam berhasil memperoleh Izin Operasi Produksi pada 2017. Kementerian ESDM mencatat peralihan status kontrak karya PT Gag Nikel ke sistem perizinan baru telah terdaftar di database Minerba One Map Indonesia pada tahun 2017.
Dengan terbitnya izin operasi tersebut, kegiatan penambangan resmi mulai tahun 2018. Ini menandai babak baru: setelah tertunda hampir 20 tahun, tambang nikel di Pulau Gag akhirnya beroperasi secara komersial di bawah kendali penuh BUMN Indonesia.
Antam menyatakan telah memenuhi seluruh prasyarat sebelum memulai produksi, termasuk menyusun dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang pemerintah setujui pada 2017. Perusahaan membuka area tambang secara bertahap. Hingga 2025, Kementerian ESDM mencatat Antam telah membuka sekitar 263 hektare lahan dan melakukan reklamasi di 131 hektare di antaranya dengan menanam lebih dari 350.000 pohon. Antam juga membangun fasilitas pendukung di Pulau Gag, seperti perumahan karyawan dan infrastruktur operasi tambang.
Dengan demikian, roda tambang Gag kembali berputar, kali ini di bawah bendera nasional sendiri, meski bayang-bayang kekhawatiran ekologis belum sirna.
BHP dan Antam bentuk PT Gag Nikel
Kerja sama awal yang menandai dimulainya eksplorasi nikel di Pulau Gag.
Kontrak Karya Generasi VII diterbitkan
Pemerintah mengesahkan KK yang memberikan hak tambang resmi kepada PT Gag Nikel.
Larangan tambang di hutan lindung
UU No. 41/1999 melarang open pit mining di kawasan hutan lindung seperti Pulau Gag.
Pengecualian 13 tambang
Pemerintah memberikan pengecualian termasuk untuk Pulau Gag agar tambang dapat lanjut.
BHP mundur, Antam ambil alih penuh
Antam mengakuisisi seluruh saham dan menjadi pemilik tunggal PT Gag Nikel.
Izin Operasi Produksi terbit
PT Gag Nikel mendapatkan IUP Operasi Produksi dari pemerintah.
Tambang resmi beroperasi
Kegiatan penambangan dimulai di Pulau Gag dengan fasilitas produksi terbatas.
ESDM hentikan sementara operasi
Penghentian dilakukan untuk verifikasi dampak lingkungan dan ketaatan hukum adat.
Ekspansi Izin ke Pulau Lain dan Keterlibatan Investor Asing
Keberhasilan membuka tambang di Pulau Gag mendorong minat terhadap potensi nikel di kepulauan Raja Ampat lainnya. Dalam kurun 2010-an, pemerintah daerah Raja Ampat menerbitkan beberapa IUP baru di pulau-pulau sekitar. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengungkap, total ada lima izin tambang nikel di Raja Ampat yang sempat dikeluarkan, meskipun hingga 2025 hanya PT Gag Nikel di Pulau Gag yang aktif berproduksi. Contohnya, Pulau Kawei dan Pulau Manuran, pulau kecil di gugusan Raja Ampat, juga pernah menjadi target eksploitasi nikel oleh perusahaan lain.
Salah satu pemain swasta yang mencuat adalah PT Anugerah Surya Pratama (ASP). Perusahaan ini berstatus penanaman modal asing (PMA) dengan keterlibatan investor Tiongkok. Induk usahanya, PT Wanxiang Nickel Indonesia, terkait dengan raksasa tambang China Vansun Group. ASP mendapat IUP untuk menambang nikel di Pulau Manuran dengan konsesi sekitar 746 hektare. Investor asal Hong Kong dan Australia juga sempat dikabarkan terlibat dalam kemitraan pendanaan ASP. Kehadiran perusahaan ini menunjukkan bahwa selain Antam, ada pihak swasta bermodal asing yang berupaya menggarap nikel Raja Ampat.
Namun, operasi perusahaan-perusahaan selain PT Gag Nikel relatif terbatas dan diwarnai masalah. Pulau Manuran berukuran kecil (sekitar 1.100 hektare) sehingga masuk kategori pulau kecil yang rentan. Regulasi pesisir, yakni UU No.1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, sebenarnya melarang aktivitas tambang di pulau yang luasnya di bawah 2.000 hektare. Hal ini membuat izin ASP di Manuran kontroversial.
Berbagai Pelanggaran Serius PT ASP
Benar saja, laporan Kementerian Lingkungan Hidup mengungkap berbagai pelanggaran serius oleh PT ASP, antara lain pembukaan hutan tanpa sistem pengelolaan lingkungan memadai dan sediment control yang buruk. Awal 2024, operasional ASP di Manuran terpantau terhenti, diduga karena tekanan regulasi dan protes warga. Pulau Kawei pun serupa, sempat ada izin untuk PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), tapi aktivitasnya tak berlanjut jauh. Greenpeace dalam investigasinya 2025 menunjukkan citra lahan terbuka di Pulau Kawei akibat eksplorasi tambang nikel, meski skala masih terbatas.
Dampak Ekologis dan Suara Masyarakat Lokal
Aktivitas tambang nikel di surga biodiversitas seperti Raja Ampat menimbulkan keprihatinan besar. Ekosistem terumbu karang, hutan hujan, dan biota endemik terancam oleh deforestasi serta potensi polusi tambang. Tailings atau limbah tambang nikel dikhawatirkan memicu sedimentasi di perairan sekitar, yang dapat merusak terumbu karang dunia yang menjadi kebanggaan Raja Ampat. Walau pihak perusahaan mengklaim belum ada sedimentasi signifikan di laut berdasarkan pemantauan udara, para ahli lingkungan menegaskan bahwa kerusakan ekologis akibat tambang tidak bisa dipulihkan sepenuhnya. Menebang hutan primer dan mereklamasi dengan menanam bibit baru tidak akan mengembalikan ekosistem asli yang hilang.
Bagi masyarakat adat Raja Ampat, ancaman tambang bukan sekadar isu lingkungan, tapi juga budaya dan hak hidup.
“Proses persetujuan awal (FPIC) dari masyarakat adat tidak berjalan baik,” ujar Kalami Waisai dari AMAN Sorong Raya, mengkritik kurangnya pelibatan warga asli sejak rencana tambang bergulir.
Ia menambahkan, komunitas lokal sejatinya hidup berkecukupan dari hasil hutan dan laut;
“mereka tidak pernah kekurangan, tapi orang luar yang ‘lapar’ melihat sumber daya kami”, ujarnya penuh kekecewaan.
Masuknya tambang telah memicu konflik sosial di beberapa tempat, memecah masyarakat menjadi kubu pro dan kontra tambang sebagaimana pernah terjadi di kasus pulau kecil lain seperti Bangka di Sulawesi Utara.
Secara ekonomi, kontribusi tambang bagi daerah dipersoalkan. AMAN Sorong menganalisis pendapatan asli daerah Raja Ampat dan menemukan sumbangan tambang nikel rata-rata hanya Rp50 miliar per tahun, jauh di bawah sektor pariwisata yang menyumbang lebih dari Rp150 miliar per tahun. Artinya, tambang berisiko merusak modal alam wisata Raja Ampat yang justru lebih menguntungkan dan berkelanjutan.
“Setelah 30 tahun, nikel habis dan yang tersisa hanya kerusakan tak bisa pulih. Raja Ampat sudah dinobatkan sebagai geopark dunia, tapi masih saja ada tambang nikel. Ini ironi besar,” tegas Kalami.
Kelompok masyarakat sipil dan pegiat lingkungan pun konsisten menyuarakan #SaveRajaAmpat, mendesak pemerintah mengutamakan konservasi dan ekonomi berkelanjutan ketimbang tambang sesaat.
Respons dan Tindakan Pemerintah Terkini (2023–2025)
Isu tambang nikel Raja Ampat kembali mencuat ke nasional pada pertengahan 2025. Pada 3 Juni 2025, aktivis Greenpeace Indonesia melakukan aksi protes dramatis di Jakarta – membentangkan spanduk penolakan tambang Raja Ampat saat seorang pejabat pemerintah berpidato di konferensi pertambangan. Aksi ini memicu sorotan media dan perbincangan hangat publik.
Pemerintah pusat merespons cepat. Tanggal 5 Juni 2025, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengumumkan penghentian sementara operasi PT Gag Nikel di Pulau Gag. Ia menegaskan langkah ini diambil untuk melakukan verifikasi lapangan menyeluruh guna memastikan tidak ada pelanggaran terhadap aturan lingkungan maupun kearifan lokal.
“IUP PT Gag Nikel di Raja Ampat itu terbit jauh sebelum saya menjabat menteri. Untuk memahami kondisi sebenarnya, kami harus cek langsung ke lapangan,” ujarnya, sambil menekankan bahwa izin tersebut adalah warisan izin lama era sebelumnya.
Bahlil juga meluruskan informasi keliru di media sosial bahwa tambang berada di Pulau Piaynemo (ikon wisata Raja Ampat). Ia menegaskan penambangan hanya berlangsung di Pulau Gag, sekitar 40 km dari Piaynemo, sehingga tidak bersinggungan langsung dengan kawasan wisata utama.
Tak hanya Kementerian ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup turut bergerak. Tim KLHK pada akhir Mei 2025 melakukan inspeksi ke lokasi-lokasi tambang di Raja Ampat dan menemukan pelanggaran lingkungan serius pada empat perusahaan pemegang IUP di sana. Hanif Faisol Nurofiq, pejabat KLHK, menyatakan akan mencabut izin lingkungan perusahaan yang terbukti melanggar, kecuali mereka segera berbenah.
PT ASP Pulau Manuran Beroprasi Tanpa Pengolahan Limbah
Temuan awal menunjukkan misalnya PT ASP di Pulau Manuran beroperasi tanpa fasilitas pengolahan limbah memadai dan menambang di pulau kecil melanggar aturan. Sementara itu, PT Gag Nikel sendiri diduga memiliki beberapa izin yang terbit tanpa prosedur konsultasi publik yang layak, mulai dari IPPKH hingga AMDAL, menurut laporan investigasi Greenpeace. Semua temuan ini tengah ditelaah pemerintah pusat.
Langkah moratorium operasi Gag Nikel oleh Bahlil mendapat dukungan luas. Beragam tokoh nasional angkat suara, salah satunya Fadli Zon yang kini menjabat Menteri Kebudayaan. Ia mendukung penghentian tambang demi melindungi keindahan laut Raja Ampat.
“Sudah seharusnya demikian, tambang disetop. Jangan sampai setelah tambang habis malah merusak alam,” ujarnya pada 6 Juni 2025, seraya mengingatkan bahwa menjaga alam Raja Ampat adalah kepentingan bersama.
Di parlemen, sejumlah anggota DPR RI dari Komisi VII mendesak pemerintah mengevaluasi semua izin tambang di Raja Ampat demi mencegah kerusakan lebih lanjut. Tekanan publik juga terlihat dalam tagar #SaveRajaAmpat di media sosial yang kian viral.
Saat ini, investigasi pemerintah masih berlangsung. PT Gag Nikel menyatakan akan patuh pada keputusan pemerintah dan menghentikan sementara kegiatan produksi. Perusahaan itu menunggu hasil evaluasi untuk menentukan nasib operasi selanjutnya. Kasus Raja Ampat menjadi wake-up call bahwa percepatan industri nikel nasional harus dibarengi kehati-hatian ekstra di kawasan bernilai ekologis tinggi.