Hal tersebut ia sampaikan dalam sidang lanjutan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pada Kamis (11/8/2022).
Khairunnas berpendapat cinta hanyalah emosi sesaat yang mungkin saja dapat mengalahkan hal yang prinsip. Namun cinta dapat pula berubah karena hal yang prinsip, seperti sakralitas dari agama itu sendiri.
Ia mengungkapkan bahwa kesehatan mental seseorang terkait dengan keyakinan agama, dan pernikahan beda agama dapat menimbulkan sengketa hati dan pikiran, rentan terhadap perpecahan, dan keresahan mendalam.
Dalam konteks perkawinan beda agama, syariat maupun aturan tiap-tiap Agama dapat memberikan panduan kepada umat terkait syarat-syarat, prosedur, atau implikasi dari perkawinan semacam itu.
Namun, keputusan akhir terkait perkawinan beda agama biasanya berada di bawah yurisdiksi peraturan hukum yang berlaku, seperti Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum termasuk Hukum Islam, serta keputusan pribadi yang diambil oleh individu yang terlibat dalam perkawinan tersebut.*/LIA