Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 184)

Ayat ini, sebagaimana terpatri dalam kitab suci, membuka ruang refleksi mendalam tentang kewajiban yang tak hanya bersifat ritual, tetapi juga moral.

Bagaimana kita, sebagai bagian dari umat manusia yang tak luput dari keterbatasan, menjalankan tanggung jawab ini?

Dalam kehidupan yang terus bergerak, ada kalanya puasa —pilar agung keimanan—terpaksa ditinggalkan karena uzur syar’i, seperti sakit, perjalanan jauh, atau keadaan khusus bagi perempuan.

Namun demikian, kewajiban itu tidak lenyap; ia hanya menanti waktu untuk diselesaikan. Pertanyaannya, kapan dan bagaimana kita melunasinya dengan penuh kesadaran?

Realitas yang Tak Terhindarkan

Puasa , atau ganti puasa, bukanlah sekadar kewajiban teknis. Ia adalah cerminan dari kepekaan kita terhadap perintah Ilahi dan keseimbangan yang ditawarkan agama.

Berdasarkan data Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) pada tahun 2023, jutaan umat Islam di Indonesia memiliki tanggungan puasa yang belum terbayar, baik karena kesibukan, kelalaian, maupun ketidakpastian akan tata cara yang tepat.

Fenomena ini tak ubahnya seperti rumah yang perlahan retak di fondasinya—tanpa disadari, tetapi berpotensi fatal jika dibiarkan.

Di sisi lain, ada keheningan yang mencekam dalam kenyataan bahwa banyak dari kita menunda-nunda, seolah waktu akan selalu berpihak.

nyata memperkuat urgensi ini. Pada 2022, seorang di Jakarta Utara berbagi kisahnya kepada komunitas keagamaan setempat: ia menunda qadha puasa selama tiga tahun karena menganggapnya bisa dilakukan kapan saja.

Namun, ketika berikutnya tiba, ia menyadari bahwa tanggungan itu telah bertumpuk, disertai keharusan membayar fidyah akibat kelalaian tanpa uzur.

Kisah ini menggambarkan betapa ketidakpedulian dapat membawa beban yang lebih berat, baik secara spiritual maupun praktis.

Cara yang Terarah dan Penuh Makna

Melaksanakan puasa qadha tidaklah rumit, tetapi membutuhkan ketelitian.

Pertama, niat harus diucapkan pada malam hari sebelum fajar, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

“Barang siapa yang tidak berniat puasa pada malam hari sebelum fajar, maka tiada puasa baginya.” (HR. Abu Daud).

Lafaz niatnya sederhana namun sarat makna:

Nawaitu shauma ghadin ‘an qadha’i fardhi syahri Ramadhana lillahi ta’ala,” yang berarti, “Aku berniat berpuasa esok hari untuk mengganti puasa wajib bulan karena Allah Ta’ala.”

Niat ini adalah fondasi, pijakan awal yang menegaskan kesungguhan.

Lebih jauh lagi, jumlah hari yang diganti harus sesuai dengan yang ditinggalkan. Jika seseorang tidak berpuasa selama tujuh hari di Ramadan karena sakit, maka tujuh hari pula yang wajib diqadha.

Dalam hal ketidakpastian jumlah hari, sebagian menyarankan untuk mengambil angka maksimal yang diperkirakan, sebagai bentuk kehati-hatian.

Pelaksanaannya bisa berurutan—sebuah praktik yang dianjurkan untuk menjaga konsistensi—meski tidak wajib.

Yang terpenting, puasa ini harus dilakukan di luar hari-hari terlarang, seperti Idulfitri, Iduladha, dan hari Tasyrik (11-13 Dzulhijjah).

Waktu yang Tepat: Antara Keutamaan dan Keharusan

Kapan waktu terbaik untuk mengganti puasa? Secara syariat, qadha dapat dilakukan sejak Syawal hingga sebelum Ramadan berikutnya tiba.

Namun, bulan Syawal sering disebut sebagai waktu yang utama, karena kedekatannya dengan Ramadan masih menyisakan semangat ibadah.

Rasulullah SAW sendiri memperbanyak puasa di bulan Sya’ban, yang menunjukkan bahwa periode ini juga menjadi momen strategis untuk melunasi tanggungan.

Namun demikian, jika qadha tertunda hingga Ramadan berikutnya tanpa uzur syar’i, kewajiban fidyah muncul: memberi makan satu orang miskin untuk setiap hari yang terlewat, sebagaimana ditetapkan dalam takaran satu mud (sekitar 675 gram beras).

Ada kepekaan emosional yang muncul di sini. Sulit untuk tidak merasa terusik ketika menyadari bahwa kewajiban ini, jika diabaikan, bukan hanya menyangkut hubungan kita dengan Allah, tetapi juga dengan sesama yang membutuhkan.

Fidyah, dalam konteks ini, menjadi jembatan antara kesalahan individu dan kebaikan kolektif.

Refleksi yang Menggugah

Jika kita renungkan lebih dalam, puasa qadha bukan sekadar pelunasan hutang. Ia adalah dari kemampuan kita untuk bangkit dari keterbatasan, untuk memperbaiki apa yang pernah tertunda.

Apakah kita masih mampu membedakan kewajiban dari sekadar kebiasaan? Ataukah kita terjebak dalam alur hidup yang membuat kita lupa akan tanggung jawab yang menanti?

Fenomena ini serupa dengan seorang pelancong yang membawa beban di pundaknya: ia bisa memilih untuk meletakkannya di tempat yang tepat, atau terus membawanya hingga keletihan menguasai.

Di tengah hiruk-pikuk kehidupan, meluangkan waktu untuk qadha puasa adalah bentuk komitmen yang tidak hanya menyelesaikan kewajiban, tetapi juga menyucikan jiwa.

Ada harapan yang tersirat dalam setiap hari yang kita ganti: bahwa kita tidak hanya menjalankan perintah, tetapi juga memperbaiki diri.

Mungkin sudah saatnya kita bertanya, bukan sekadar kapan kita akan memulai, tetapi apa yang akan kita pilih untuk tidak abaikan lagi?