PALU, HAWA.ID – Media adalah sumber utama bagi publik untuk mendapatkan informasi mengenai perubahan iklim, sehingga media harusnya menjadi solusi krisis iklim dengan memberikan edukasi dan kampanye tentang perubahan iklim dan lingkungan.
Hal ini disampaiakan Sekretaris Aliansi Jurnalis Independen (AJI) kota Palu, Kartini Nainggolan saat dialog bertema “membaca krisis iklim, adaptasi, dan mitigasinya” pada kegiatan Festival Media (Fesmed) hijau 2023, Minggu (10/12/2023) di taman GOR Palu.
Kartini yang akrab disapa Tini mengungkapkan, hasil peneliti dari Climate Transparency Report tahun 2021 mengungkapkan, Indonesia menjadi salah satu dari 10 negara penghasil gas rumah kaca di dunia. Konsumsi energi fosil indonesia masih diatas 80 persen, dan menjadi penyumbang emisi karbon terbesar di dunia.
Minimnya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dengan komitmen indonesia dalam persetujuan paris untuk menahan kenaikan suhu bumi, dan kurangnya kesadaran publik, menjadi masalah dalam upaya mitigasi dan adaptasi.
“Pemberitaan di media berperan signifikan dalam membentuk sikap positif publik terkait krisis iklim,” ujarnya.
Menurutnya, selama ini ada beberapa faktor yang menjadi kendala sehingga isi perubahan iklim belum menjadi prioritas di media. Diantaranya, kondisi internal media yang tidak memiliki desk khusus lingkungan, ditambah lagi rendahnya kesadaran dan pengetahuan wartawan mengenai isu perubahan iklim sehingga berakibat pada buruknya kualitas liputan, dan kurangnya minat pasar terkait isu lingkungan dan iklim.
Tini mengungkapkan bahwa, konsep dan strategi baru untuk menempatkan isu lingkungan dan perubahan iklim sebagai prioritas di media, bisa diterapkan melalui strategi bisnis yang lebih inovatif untuk membuat isu ini menarik pengiklan dengan cara menonjolkan brand satu produk yang pro lingkungan sehingga menumbuhkan rasa percaya konsumen terhadap bran itu.
Karena isu lingkungan dan iklim membutuhkan waktu dan modal yang cukup banyak dan terkadang tidak sejalan dengan pola ekonomi media, perlu kolaborasi dengan CSO untuk menghasilkan liputan yang mendalam dan lebih realistis secara ekonomi.
Media yang mengkomunikasikan perubahan iklim dengan optimal kata Tini, membantu meningkatkan pengetahuan dan membangkitkan kesadaran publik, serta mendorong urgensi kebijakan mitigasi perubahan iklim. Sebaliknya, komunikasi perubahan iklim yang buruk dapat membuat publik abai, mengaburkan fakta, dan menyepelekan masalah.
Sementara itu, Koordinator Bidang Informasi dan Data Stasiun Pemantau Atmosfer Global Lore Lindu Bariri, Solih Alfiandy mengungkapkan bahwa, perubahan iklim saat ini sudah terjadi dan kita harusnya bisa melakukan upaya mitigasi dan adaptasi.
“Sebenarnya bukan perubahan iklim melainkan krisis iklim yang sedang terjadi saat ini,” kata Solih.
Menurutnya, mitigasi dan adaptasi bisa dilakukan dengan memperkaya pengetahuan tentang krisis iklim, sehingga perlu peran media untuk memberikan edukasi kepada publik tentang dampak dari perubahan iklim yang bisa menyebabkan krisis disemua sektor, seperti krisis air, kesehata maupun krisis pangan.
Senada dengan itu, Kabid Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan DLH Sulteng, Natsir Mangge mengungkapkan bahwa, kesadaran publik terkait perubahan iklim perlu dibangun dan semua pihak harus terlibat, termasuk peran media dalam memberikan edukasi tentang perubahan iklim dan lingkungan.
“Kegiatan festival media saat ini adalah bukti bahwa media menunjukan perannya untuk mengedukasi masyarakat,” ujarnya.LIA