“Hidup itu bukan hanya tentang bertahan, tetapi tentang mengklaim kembali siapa diri kita.” – Jaycee Dugard

Sulit membayangkan bahwa di sebuah pagi yang biasa, seorang anak berusia sebelas tahun berjalan menuju halte bus sekolah, dan tidak pernah kembali. Namun demikian, lebih sulit lagi untuk menyelami bagaimana dunia bisa terus berputar selama delapan belas tahun, sementara satu kehidupan terpenjara di balik tenda dan bilik kayu di halaman belakang sebuah rumah di Antioch, California.

Jaycee Dugard tidak sekadar mengalami penculikan; ia menunjukkan ketangguhan saat pelaku merenggutnya dari dunia kanak-kanak, memaksanya tumbuh dalam kesunyian, namun ia memilih untuk hidup. Bukan karena ia kehabisan pilihan, tetapi karena ia menolak mati dalam keterasingan.

Realitas yang Tak Terjangkau oleh Imajinasi

Lahir pada 3 Mei 1980, Kisah Jaycee Lee Dugard, seperti banyak anak lainnya, ia tinggal bersama keluarganya di South Lake Tahoe, sebuah kota yang saat itu mereka pilih karena lebih aman bagi mereka. Namun pada pagi 10 Juni 1991, keamanan itu seolah runtuh dalam sekejap. Jaycee diculik hanya beberapa meter dari rumahnya oleh pasangan Phillip dan Nancy Garrido—dua nama yang kelak akan menjadi simbol kejahatan terbungkus domestikasi.

Lebih dari sekadar tindak kriminal, penculikan ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap kemanusiaan. Bagaimana mungkin seorang pria yang sedang dalam masa percobaan atas kejahatan seksual dapat dengan mudah melewati pengawasan sistem hukum dan melakukan penculikan begitu brutal? Apakah ini sekadar kelalaian, atau cermin dari sistem yang terlalu percaya pada “pemulihan” tanpa pengawasan?

Jaycee Dugard Delapan Belas Tahun dalam Sunyi

Pelaku tidak membunuh Jaycee, tetapi mereka juga tidak membiarkannya hidup sebagaimana mestinya. Mereka memenjarakannya secara fisik, mengisolasinya secara mental, dan merampas semua hak dasarnya sebagai anak, sebagai perempuan, sebagai manusia.

Ia melahirkan dua putri dalam usia yang bahkan belum cukup matang untuk menyebut dirinya dewasa. Ia mendidik mereka tanpa akses pada dunia luar, dan bertahan bukan karena menerima, tetapi karena mencintai. Banyak yang menyebut bahwa Jaycee mungkin mengalami Stockholm syndrome. Namun ia sendiri dengan tegas menolak klaim itu. Baginya, tinggal bersama Garrido bukan karena keterikatan, melainkan karena naluri seorang ibu—ia ingin menjaga anak-anaknya tetap hidup, meski harus mengorbankan dirinya sendiri.

Apakah cinta seorang ibu memang mampu menundukkan rasa takut pada monster yang menyekapnya? Atau justru ketakutan itu bertransformasi menjadi bentuk tertinggi dari keberanian yang diam?

Kebebasan yang Berawal dari Kecurigaan

Kebebasan Jaycee datang bukan dari operasi besar, bukan dari pelacakan forensik atau teknologi canggih, melainkan dari kepekaan manusia terhadap keanehan. Pada Agustus 2009, seorang petugas kampus mencurigai perilaku Garrido yang membawa dua anak perempuan dalam situasi ganjil. Kecurigaan itu membuka jalan interogasi yang akhirnya menguak satu nama yang selama ini hanya hidup dalam poster dan kenangan: Jaycee Lee Dugard.

Ada keheningan yang mencekam dalam kenyataan bahwa sistem pengawasan negara gagal selama hampir dua dekade, tetapi satu percikan kewaspadaan manusia mampu menembus kabut gelap yang membungkus keberadaannya.

Menghidupkan kembali Kehidupan

Pasca kebebasan, Jaycee tidak memilih untuk tenggelam dalam trauma. Ia menulis. Ia bercerita. Ia mendirikan JAYC Foundation.

Melalui buku A Stolen Life dan Freedom: My Book of Firsts, ia mengungkap tidak hanya penderitaan, tetapi juga proses membangun kembali keberdirian. Ia merawat dua putrinya, keduanya kini telah menempuh pendidikan tinggi.

Apakah mungkin sebuah kehidupan yang hancur sejak usia 11 tahun bisa direkonstruksi dengan bermartabat? Jaycee menjawabnya tanpa slogan. Ia hidup, dan hidupnya kini adalah jawaban itu sendiri.

Penutup: Untuk Siapa Kita Bertahan?

Bagi kita, para perempuan, kaum Hawa, kisah Jaycee Dugard ini bukan sekadar tragedi personal. Ia adalah cermin. Cermin bagi sistem sosial yang gagal melindungi, cermin bagi naluri manusia untuk bertahan, dan cermin bagi harapan yang tak mudah padam.

Mungkin, pada akhirnya, pertanyaannya bukan tentang seberapa lama Jaycee hilang, tetapi seberapa dalam dunia ini lupa mencarinya.

Dan kini, apakah kita masih cukup peka untuk melihat anak-anak lain yang mungkin sedang hilang, meski tubuhnya masih tampak di depan mata.

– Penulis
Redaksi Hawa.