Pengantar Redaksi
Dalam tulisan ini, penulis secara bebas mengadaptasi dan menerjemahkan artikel ‘The Hague’s Shelter for Sea Nannies’ karya Bert Immerzeel dari Reddit. Penulis menyoroti sisi sejarah kolonial Belanda yang jarang mendapat perhatian, yaitu kisah para perempuan Indonesia yang bekerja sebagai pengasuh anak (baboe) dalam pelayaran antara Hindia Belanda dan negeri penjajah.
Dalam masa penjajahan, banyak keluarga Belanda membawa serta para pengasuh Indonesia ke Eropa untuk membantu merawat anak-anak mereka selama perjalanan panjang melintasi lautan. Orang-orang Belanda menyebut mereka zeebaboe atau ‘sea nanny’—pekerja yang menggabungkan ketangguhan fisik, kecakapan merawat anak, dan pengalaman hidup dalam kerentanan akibat sistem kolonial yang tidak memihak pekerja dari tanah jajahan. Bukan hanya soal pengasuhan, Kisah mereka juga soal daya hidup dan perjuangan dalam menghadapi ketidakpastian hidup di negeri orang.
Awal Mula Zeebaboe
Pada awal abad ke-20, pelayaran antara Hindia Belanda (kini Indonesia) dan Belanda menjadi lebih rutin. Keluarga kolonial Belanda yang bepergian bolak-balik kerap membawa serta para pengasuh anak dari Hindia. Perempuan-perempuan ini berasal dari berbagai daerah di Jawa dan sekitarnya. Di atas kapal, mereka bertanggung jawab atas perawatan anak-anak, khususnya balita, selama perjalanan yang bisa berlangsung berminggu-minggu.
Istilah zeebaboe muncul sebagai sebutan untuk para pengasuh ini. Beberapa iklan dan surat kabar pada zaman itu menyoroti pentingnya kehadiran mereka, terutama bagi ibu-ibu Belanda yang menderita mabuk laut.Namun, kontrak kerja mereka sering kali hanya berlaku selama perjalanan laut. Setibanya di Rotterdam atau Amsterdam, majikan mereka memberhentikan mereka tanpa memberikan jaminan tempat tinggal maupun dukungan lainnya.pekerjaan lanjutan.

Persinggahan: Rumah Sementara di Den Haag
Kondisi ini mendorong organisasi Oost en West mendirikan Persinggahan pada tahun 1918, sebuah rumah penampungan bagi pengasuh asal Hindia Belanda. Terletak di Van Boetzelaerlaan 2, Den Haag, rumah ini menjadi tempat singgah sekaligus pusat penyaluran kerja bagi para zeebaboe.
Pasangan misionaris F. de Munnik dan istrinya, W.S.C. de Munnik-Creutzberg, awalnya mengelola Persinggahan yang menampung hingga tiga puluh perempuan. Di sini, para pengasuh menunggu pelayaran pulang atau mencari pekerjaan baru. Mereka hidup bersama dalam suasana hangat, mengenakan sarung dan kebaya, berbagi cerita, merajut, menulis surat, dan memainkan musik dengan gramofon.

Meski menjadi tempat perlindungan, Persinggahan tetap merefleksikan struktur ketimpangan kolonial. Para pengasuh ini bekerja keras, namun tetap dibayar murah, sekitar 25 gulden per perjalanan. Mereka juga harus menanggung biaya hidup selama menunggu pekerjaan baru, meski pihak pengelola sering kali membebaskan biaya bagi yang sakit atau menganggur.
Rumah Sebagai “Pelabuhan yang Aman”
Meski demikian, rumah ini dianggap sebagai “pelabuhan yang aman.” Dalam beberapa kasus, jika pengasuh mengalami kekerasan atau perlakuan buruk dari keluarga majikan, pengurus rumah akan memberi peringatan atau memindahkan mereka ke tempat kerja lain. Terkadang mereka juga membantu mencarikan tempat tinggal alternatif.
Menariknya, rumah ini bukan hanya dihuni oleh perempuan. Beberapa laki-laki yang bekerja sebagai pelayan rumah tangga (djongos) juga tinggal di sana, meski jumlahnya jauh lebih sedikit.
Banyak dari zeebaboe yang menunjukkan ketangguhan luar biasa. Mereka bukan sekadar pekerja temporer, tetapi perempuan-perempuan yang merancang masa depan mereka sendiri. Beberapa menabung gulden demi gulden untuk membeli tanah, membangun rumah, bahkan membeli hewan ternak seperti kerbau atau menggali sumur di kampung halaman.
Salah satu dari mereka, Mirah Opor, dikenal sebagai pengasuh yang sangat dicari. Ia telah melakukan puluhan perjalanan bolak-balik dan berbicara bahasa Belanda dengan lancar. Ia dikenal suka bercerita, membuat anak-anak senang, dan menjadi andalan banyak keluarga. Mirah juga pernah tinggal di Belanda selama dua setengah tahun saat mobilisasi perang, dan menyukai salju yang ia sebut sebagai “pasir putih.”
Menjelang Perang Dunia II, kondisi kerja para zeebaboe semakin berat. Harga-harga naik, namun upah mereka stagnan. Pada November 1939, sekitar sepuluh pengasuh berkumpul di Kantor Tenaga Kerja Batavia untuk menuntut kenaikan bayaran. Dipimpin oleh Harminta, seorang pengasuh kawakan asal Surabaya yang telah melakukan lebih dari empat puluh pelayaran, mereka berhasil menegosiasikan kenaikan menjadi 50 gulden di muka dan 25 gulden setelah tiba di Belanda.
Namun kebijakan ini datang terlambat. Tak lama kemudian, perang pecah dan pelayaran internasional terganggu. Banyak pengasuh terpaksa turun di pelabuhan seperti Genoa atau Marseille, dan harus melanjutkan perjalanan dengan kereta api. Ini menambah beban biaya dan ketidakpastian.
Akhir dari Profesi Zeebaboe
Setelah perang, profesi zeebaboe nyaris punah. Jalur pelayaran berubah, hubungan antara Indonesia dan Belanda memasuki fase dekolonisasi, dan kebutuhan akan pengasuh dari Hindia Belanda menurun drastis.
Pada tahun 1948, Persinggahan resmi ditutup. Rumah yang pernah menjadi pusat kehidupan sosial dan ekonomi bagi para perempuan tangguh itu tak lagi memiliki peran. Profesi yang selama tiga dekade menjadi jembatan hidup bagi banyak perempuan Indonesia berakhir dalam senyap.
Kisah para zeebaboe jarang tercatat dalam buku sejarah resmi. Mereka adalah pekerja domestik dari negeri jajahan yang menjalani kehidupan antarbenua, menghadapi tantangan budaya, bahasa, cuaca, dan sistem kolonial yang tidak memihak mereka.
Namun mereka memainkan peran besar dalam merawat generasi Belanda. Mereka adalah saksi senyap sejarah kolonialisme, namun meninggalkan jejak ketangguhan yang layak dikenang.
Sumber :
Artikel "The Hague's Shelter for Sea Nannies" oleh Bert Immerzeel, diterbitkan melalui Reddit.
Sumber Asli :
Javapost.nl - In sarong en baadje