PALU-Pengamat Profesor Djohermansyah Djohan menyatakan petahana atau kepala daerah mencalonkan kembali, yang melalukan mutasi jabatan bisa dibatalkan pencalonannya di Pilkada 2024.

“Incumbent (petahana) yang melakukan mutasi jabatan, harusnya bisa dibatalkan pencalonannya, dan dikenai sanksi pemberhentian sebagai kepala daerah,” katanya dalam keterangan tertulis di Palu, Jumat.

Menurut dia, sanksi itu sesuai dengan ketentuan Putusan Agung (MA) Nomor 570 tahun 2016 tentang terkait sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) di Kabupaten Boalemo, Gorontalo.

Putusan MA Nomor 570 K/TUN/PILKADA/2016 mengabulkan sebagian gugatan dari dua penggugat, yaitu Darwis Moridu dan Hi. Anas Jusuf, melawan Komisi Pemilihan Umum dan Pemerintah Kabupaten Boalemo.

“Kepala daerah petahana dianggap telah menyalahgunakan wewenang,” ujar Besar Universitas Nasional (Unas) itu.

Djohermansyah yang juga mantan Dirjen Otomomi daerah itu menyampaikan hal yang sama, dalam dialog publik yang digelar Forum Kajian Demokrasi Kita (Fokad) dengan tema “Fenomena Kepala Daerah Incumbent Melakukan Mutasi Jabatan Menjelang Pilkada 2024: Telaah Terhadap Netralitas Birokrasi dan Implikasi pada Sistem Demokrasi”.

Terpisah, Akademisi dari Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama Palu Sahran Raden mengingatkan Bawaslu lebih berhati-hati, terkait laporan pelanggaran administrasi Pilkada serentak 2024.

“Sebaikanya Bawaslu provinsi, kabupaten dan kota, untuk berhati-hati melalukan pengkajian, sesuai dengan norma dan peristiwa yang terjadi,” katanya dihubungi di Palu, Jumat.

Hal itu disampaikan Sahran saat diminta tanggapannya terkait dilaporkannya Sulawesi Tengah, Kota Palu dan di Bawaslu masing-masing daerah. Laporan itu terkait dugaan pelanggaran administrasi, penetapan pasangan calon kepala daerah oleh untuk Pilkada serentak 2024.

Substansi dari ketiga laporan itu, dimana KPU setempat telah meloloskan pasangan calon petahana, yang melakukan mutasi atau pengantian pejabat, enam bulan sebelum penetapan pasangan calon oleh KPU. Tindakan itu dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

Pada Pasal 71 ayat (2), UU Pilkada mengatur kepala daerah tidak boleh mengganti pejabat enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai akhir masa jabatannya, kecuali mendapatkan persetujuan tertulis dari .

“Meskipun dilarang, tetapi ada pengecualian tindakan itu, melalui satu mekanisme persetujuan tertulis dari menteri,” kata Sahran