“Saya tidak akan mengubahmu demi dunia, tetapi saya akan mengubah dunia demi kamu.”

Ada kalimat yang rasanya bisa saja sederhana, akan tetapi menciptakan getaran dalam dada bagi siapa pun yang mendengarnya.

Bukan sekadar ungkapan kasih, Kalimat itu adalah bentuk perlawanan, tekad, juga cinta yang tak bersyarat, terutama bagi mereka yang memutuskan untuk berjalan sendiri, membesarkan anak dengan kebutuhan khusus.

Di balik angka dan istilah medis, ada cerita yang tersembunyi. Mereka tidak selalu masuk berita, tidak pula menyuarakan keluh di ruang publik.

Namun keberadaan mereka adalah bukti bahwa kasih seorang orang tua, terlebih seorang ibu, sanggup menembus batas yang sering kali terjadi di masyarakat itu sendiri. Salah satunya adalah mereka yang memilih menjadi single parent karena pasangan tidak mampu menerima kenyataan: bahwa anak mereka lahir dengan sindrom Down.

Di Antara Pilihan dan Pengorbanan

Kita jarang sekali mendengar kisah seorang ibu yang berpisah dengan pasangannya setelah melahirkan anak dengan sindrom Down. Bukan karena kasus ini tak pernah terjadi, tapi karena ia menyembunyikan diri dalam keheningan sosial. Di masyarakat kita yang terkadang masih terikat pada persepsi ideal tentang “keluarga sempurna”, kisah seperti ini terlalu mudah tergeser ke sudut. Namun demikian, realitas di balik itu tetap ada, dan menyakitkan.

Salah satu kasus yang terdokumentasi berasal dari Rusia, di mana seorang ayah bernama Evgeny Anisimov memilih menjadi single parent setelah istrinya meninggalkan mereka. Hasil diagnosis Anak mereka, Misha, mengidap sindrom Down.

Kisah ini mendorong kita untuk merenung: jika dalam masyarakat patriarkal seorang istri memilih meninggalkan suaminya karena anak mereka lahir berbeda, berapa banyak Hawa yang harus menghadapi keputusan serupa dari pasangannya dalam diam?

Jenis Grafik Data Tahun/Wilayah Sumber
Prevalensi Global 19,87/100.000 (1990), 23,47/100.000 (2019) 1990 & 2019 (Global) Global Burden and Trends of Down Syndrome
Prevalensi Berdasarkan SDI Tinggi: 49,11
Menengah-Tinggi: 25,89
Menengah: 19,45
Menengah-Rendah: 15,32
Rendah: 13,53
2019 Global Burden and Trends of Down Syndrome
Jumlah Kasus Global 1.257.110 (1990), 1.579.784 (2019) 1990 & 2019 Global Burden and Trends of Down Syndrome
DALYs (Tahun Kehilangan) 2.223.900 (1990), 1.783.570 (2019) 1990 & 2019 Global Burden and Trends of Down Syndrome
Kelangsungan Hidup 87% (1985–1994), 94% (1995–2004) 1985–2004 Tren 20 Tahun Sindrom Down
Prevalensi Kelahiran Hidup 1,16 (1985–1989)
0,94 (1990–1994)
1,03 (1995–1999)
1,21 (2000–2004) per 1.000 kelahiran
1985–2004 Tren 20 Tahun Sindrom Down
Prevalensi Negara (2025) Irlandia: 27,5
Norwegia: 24,9
Swedia: 14,5 (per 10.000 kelahiran)
2025 Statistik Sindrom Down per Negara

Apa itu Sindrom Down?

Secara medis, sindrom Down adalah kelainan genetik yang terjadi ketika seseorang memiliki salinan tambahan kromosom ke-21, dikenal sebagai trisomi 21. Kelainan ini mengakibatkan berbagai hambatan dalam perkembangan fisik maupun kognitif, serta meningkatkan risiko terhadap gangguan kesehatan seperti kelainan jantung, gangguan pendengaran, bahkan penyakit tiroid.

Menurut data Kementerian Kesehatan RI pada 2018, sekitar 0,21% kelahiran di Indonesia teridentifikasi dengan sindrom Down. Angka ini tampak kecil, namun konsekuensinya besar, terutama bagi orang tua yang memilih tetap tinggal, meski harus berjalan sendiri.

Jalan Sunyi, Namun Tidak Tanpa Terang

Bagi orang tua yang menjadi single parent, jalan ini bukan hanya sunyi, tetapi juga terjal. Namun seperti banyak rumah yang bertahan meski fondasinya terguncang, mereka membangun ulang makna keluarga dengan ketabahan dan cinta yang tak bisa kompromi.

Anak dengan sindrom Down membutuhkan pendekatan holistik yang mencakup intervensi dini (seperti terapi wicara dan motorik), pendidikan khusus, pemeriksaan medis rutin, hingga dukungan psikososial yang menyeluruh. Di sini, peran orang tua menjadi poros utama.

Sulit untuk tidak merasa terusik ketika melihat bagaimana sebagian masyarakat masih menatap mereka dengan iba, bukan hormat. Padahal, banyak dari mereka justru menunjukkan ketahanan emosional dan moral yang melampaui ukuran biasa.

Antara Harapan dan Realita: Apa yang Bisa Kita Pelajari?

Kita hidup dalam dunia yang cepat mengagungkan kesempurnaan visual, tetapi lambat memahami keberagaman biologis. Di sinilah letak tantangan terbesar: bagaimana masyarakat, termasuk sesama kaum Hawa, bisa merengkuh narasi keberanian dan kasih ini, bukan hanya dengan empati, tapi juga solidaritas.

Bukankah rumah terbaik adalah tempat di mana seseorang diterima sepenuhnya, bukan tempat di mana ia harus “sempurna” terlebih dahulu?

Jika demikian, bagaimana seharusnya kita sebagai masyarakat mendefinisikan dukungan? Apakah hanya dalam bentuk simpati sesaat, atau dengan membangun sistem yang benar-benar inklusif, tak meninggalkan mereka yang berjalan sendiri?.

Bagi banyak perempuan, termasuk para ibu yang menjadi single parent, hidup bersama anak dengan sindrom Down bukanlah akhir dari harapan, tetapi bentuk lain dari awal.

Maka mungkin sudah saatnya kita bertanya: bukan seberapa besar pengorbanan mereka, tetapi seberapa kecil kita sebagai masyarakat mendengarkan dan mengakui keteguhan itu?