JAKARTA, HAWA — Kontroversi Pixelhelper menjadi sorotan setelah akun tersebut mengunggah video buatan kecerdasan buatan (AI) yang perayaan LGBT di depan Ka’bah. Video itu memicu kemarahan warganet dan memunculkan perdebatan soal batas etika penggunaan AI dalam konten digital.

Pixelhelper adalah organisasi asal Jerman yang sering mengangkat isu sosial dan HAM melalui media visual. Dalam unggahan terbaru, akun ini menggunakan teknologi AI untuk menciptakan adegan perayaan LGBT di hadapan Ka’bah. Video tersebut dipublikasikan melalui akun media sosial mereka dan langsung mendapat reaksi luas dari publik.

Kontroversi Pixelhelper memuncak saat video itu menyebar ke berbagai platform seperti X (Twitter), Instagram, dan TikTok. Banyak pengguna melaporkan konten itu sebagai bentuk penghinaan terhadap tempat suci umat Islam. Tagar kecaman bermunculan, dan sejumlah pengguna mendesak platform-platform tersebut untuk menghapus unggahan tersebut.

Pihak Pixelhelper belum memberikan klarifikasi langsung atas kontroversi Pixelhelper ini. Namun, akun mereka sempat memberikan keterangan umum bahwa aksi tersebut sebagai bentuk kampanye inklusivitas global. Sementara itu, para pengguna media sosial menyayangkan penggunaan simbol keagamaan dalam isu sensitif seperti ini.

Beberapa negara dengan populasi Muslim besar juga mulai merespons. Pengguna dari Arab Saudi, Indonesia, Malaysia, dan Pakistan menyatakan keberatan melalui komentar terbuka dan unggahan balasan. Reaksi ini menyoroti betapa sensitifnya penggunaan visual tempat ibadah dalam konteks lain di luar peribadatan.

Kontroversi Pixelhelper juga memunculkan kembali wacana pentingnya regulasi etika dalam penggunaan AI. Para pakar menyarankan agar konten buatan AI memiliki batasan yang jelas, terutama saat menyentuh isu agama dan budaya. UNESCO dalam panduan etikanya telah mengingatkan perlunya pertimbangan etis dalam penggunaan AI di ruang publik.

Platform seperti Instagram dan TikTok belum memberikan pernyataan resmi apakah mereka akan menangguhkan akun Pixelhelper. Namun, laporan pengguna terhadap unggahan tersebut terus meningkat.

Sebelumnya, Pixelhelper juga pernah terlibat dalam aksi proyeksi visual di lokasi-lokasi publik di Eropa dengan pesan-pesan sosial. Namun, kontroversi Pixelhelper kali ini melibatkan simbol keagamaan, yang membuatnya berbeda dan lebih sensitif dari sebelumnya.

Kasus ini menunjukkan bagaimana teknologi dapat menimbulkan polemik jika tidak mempertimbangkan sosial dan budaya. Diskusi publik tentang batasan konten digital dan kecerdasan buatan kemungkinan akan terus berkembang setelah insiden ini.

Pemblokiran oleh KOMINFO dan Respons Pixelhelper

Sebagai respons atas reaksi masyarakat, Kementerian Komunikasi dan Informatika (KOMINFO) mengambil langkah pemblokiran. KOMINFO meminta pihak Instagram untuk membatasi akses terhadap akun Pixelhelper di wilayah Indonesia. Saat ini, mengakses akun tersebut dari Indonesia, muncul keterangan: “Akun tidak tersedia di Indonesia. Ini karena kami memenuhi permintaan hukum dari KOMINFO untuk membatasi konten ini.”

Setelah pemerintah memberlakukan pembatasan, akun Facebook resmi Pixelhelper merespons melalui unggahan yang berisi kritik tajam terhadap pemerintah Indonesia. Dalam unggahan tersebut, Pixelhelper menyebut keputusan KOMINFO sebagai bentuk sensor digital dan menuduh pemerintah Indonesia melakukan penindasan terhadap kelompok LGBT dan masyarakat Papua.

Unggahan itu juga mencantumkan pernyataan yang mereka sebut sebagai “Fatwa Cinta” dari seseorang yang mengklaim diri sebagai Imam Oliver al Mahdi. Dalam pernyataan tersebut, Pixelhelper menuduh pemerintah Indonesia memberangus kebebasan berpendapat dan menggunakan kekuasaan untuk membungkam suara-suara minoritas. Mereka juga menyerukan kepada pengikutnya di Indonesia untuk tetap mengakses konten mereka menggunakan VPN.

Unggahan ini kembali menimbulkan reaksi, terutama dari pengguna media sosial Indonesia yang menilai isi pernyataan tersebut sebagai provokatif dan menyentuh isu yang sangat sensitif. Beberapa organisasi keagamaan dan tokoh publik juga mulai angkat bicara, menyuarakan keprihatinan terhadap penyalahgunaan simbol-simbol keagamaan dalam kampanye digital.

Hingga saat ini, belum ada keterangan lebih lanjut dari KOMINFO terkait kemungkinan pemblokiran lebih luas terhadap akun-akun Pixelhelper di platform lain. Sementara itu, polemik seputar batas etika penggunaan AI dan kebebasan berekspresi dalam ruang digital terus menjadi perbincangan.ECA