“Saya sering merasa seperti komputer dengan dua puluh tab terbuka. Semua berjalan, semuanya butuh perhatian, tapi tidak ada satu pun yang benar-benar selesai.”

Kalimat itu meluncur pelan dari seorang ibu berusia 41 tahun, sambil memandangi layar ponsel anaknya yang menyala terang di ruang tamu yang setengah gelap. Tak ada suara televisi, hanya notifikasi yang bersahutan dari grup WhatsApp kelas, organisasi, berita, dan tugas kuliah daring yang menunggu. Di sudut meja, laptop menyala dengan draf artikel yang belum rampung. Hari belum malam, tapi tubuh sudah mendekati batasnya.

Di rumah itu, tak ada yang viral. Tak ada unggahan yang mendapat ribuan suka atau komentar. Tapi di balik layar-layar kecil itu, kehidupan terus berjalan dalam kepadatan yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang menghidupi banyak peran, istri, ibu, jurnalis, mahasiswi, pengurus organisasi.

Perempuan itu, seperti banyak ibu lainnya di Indonesia pasca pandemi, hidup dalam keseharian yang dikendalikan algoritma dan tuntutan yang tak terlihat.

Sejak pandemi membentuk kebiasaan daring secara paksa, layar menjadi ruang hidup baru, bagi anak-anak, dan bagi orang tua yang mendampingi mereka. Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia menyebutkan bahwa 48% anak di bawah usia 18 tahun kini menggunakan internet lebih dari 8 jam sehari. Tak sedikit dari mereka yang masih balita, bahkan bayi, yang telah terpapar layar gawai lebih dari satu jam setiap harinya.

Namun siapa yang menemani mereka di balik layar? Dalam sebagian besar keluarga, jawabannya adalah ibu.

Di banyak rumah, ibu bukan hanya pengatur menu harian dan manajer keuangan keluarga, tetapi juga menjadi filter konten, pengawas waktu layar, dan pelindung emosi anak-anak yang terombang-ambing dalam dunia digital. Saat anak menangis karena game-nya terganggu, atau karena komentar kasar dari teman daringnya, yang pertama mereka cari biasanya bukan pengembang aplikasi, melainkan ibunya.

Sementara itu, di ruang-ruang lain, banyak ibu juga harus menjelaskan pada orang tuanya, yang tinggal di desa, tanpa sinyal stabil, bagaimana cara membaca pesan WhatsApp atau menggunakan aplikasi video call. Mereka menjadi jembatan digital antargenerasi, menyambungkan dunia yang makin cepat dengan mereka yang tertinggal.

Di tengah peran itu semua, muncul pertanyaan: siapa yang menjaga ibu?

Komisi Perlindungan Anak Indonesia mencatat bahwa lebih dari 79% anak di Indonesia tidak memiliki batasan jelas dalam menggunakan gadget. Sebagian besar anak memiliki ponsel sendiri, dan orang tua kerap kesulitan mengatur waktu pemakaian, apalagi memahami isi kontennya. Psikolog anak menyebut ini sebagai era parental disorientation, ketika orang tua bingung bagaimana harus mendampingi dunia digital anak-anak mereka.

Namun di balik kebingungan itu, ibu-ibu tetap berdiri di garis depan. Mereka memasak sambil mendengarkan podcast parenting, menyapu sambil merekam voice note untuk pekerjaan, dan membantu PR anak sambil mencatat daftar bahan liputan.

Tidak ada kamera yang merekam itu semua. Tidak ada unggahan yang viral dari perjuangan senyap ini.

Di desa-desa, kisahnya lebih sunyi lagi. Di sana, sinyal tak selalu ada. Tapi kebutuhan belajar daring, konsultasi kesehatan, dan komunikasi antar keluarga tetap harus jalan. Maka ibu-ibu yang bisa membaca dan melek digital, menjadi tulang punggung informasi. Mereka yang bisa mengakses satu-dua aplikasi sederhana, mendadak jadi operator keluarga, yang menjelaskan apa arti tautan, bagaimana mengunduh gambar, dan ke mana harus mengadukan penipuan digital.

Lebih sulit untuk diam ketika mendapati bahwa pekerjaan semacam ini tidak masuk dalam statistik produktivitas, tidak digaji, dan sering kali tidak dianggap kerja.

Meutya Hafid, Menteri Komunikasi dan Digital, pernah menyatakan bahwa “Perempuan adalah garda terdepan literasi digital keluarga.” Pernyataan itu seolah menggambarkan apa yang sudah lama terjadi, bahwa ibu bukan hanya penjaga nilai-nilai, tetapi kini juga penjaga algoritma, tanpa pelatihan, tanpa cuti.

Namun lebih jauh dari pernyataan itu, muncul satu lagi pertanyaan: jika semua tab harus tetap terbuka di kepala seorang perempuan, adakah ruang untuk dirinya sendiri?

Banyak ibu rumah tangga mengalami burnout yang tidak mereka sadari. Mereka tidak menyerah, tidak mengeluh di depan anak-anak, tetapi pelan-pelan menarik diri dari hal-hal yang dulu mereka cintai. Buku yang tak lagi dibaca. Musik yang hanya diputar untuk anak. Diri sendiri yang perlahan tenggelam dalam tab-tab yang tak pernah benar-benar tertutup.

Tidak ada yang viral dari kisah ini. Tapi justru di dalam sunyi dan layar-layar kecil inilah perempuan menjalani peran terdalamnya, menjaga agar anak-anak tidak tersesat di dunia maya, agar orang tua tetap terhubung, dan agar keluarga tetap punya pijakan, meski sinyal kadang hilang.

Dan mungkin, dalam tab yang terakhir ia tutup setiap malam, ia menyimpan satu ruang kecil yang tak terbaca siapa-siapa, tempat ia bisa menjadi dirinya sendiri, walau hanya sejenak.