“Anak itu pintar banget, udah kayak orang gede!”
Kalimat itu meluncur dari seorang ibu muda di Bekasi, saat menyaksikan putrinya meniru gestur influencer di layar ponsel. Ia tertawa bangga, tanpa sadar bahwa anaknya baru saja menyebut nama profesi sambil mengumpat, dengan nada yang sangat fasih.
Berat untuk tidak terusik. Di banyak ruang keluarga hari ini, layar ponsel menjadi pengasuh utama. Anak-anak menirukan apa yang mereka lihat, dan yang mereka lihat kini tak lagi berbatas waktu, tempat, atau umur. Anak kita dibesarkan oleh media sosial, dan tak banyak yang bertanya: oleh siapa sebetulnya konten-konten itu dibuat?
Di Indonesia, lebih dari 217 juta orang telah menjadi pengguna aktif media sosial. Dari angka itu, sebagian besar adalah remaja dan anak-anak. Riset dari Neurosensum menyebutkan bahwa 87 persen anak telah mengenal media sosial sebelum usia 13 tahun. Bahkan, anak dari keluarga berpenghasilan rendah cenderung lebih awal bersentuhan dengan gawai.
Fenomena ini terjadi seiring dengan perubahan norma yang mengendap dalam keseharian. Banyak orang tua tidak menyadari bahwa norma kesopanan, etika, dan rasa hormat kini pelan-pelan tergantikan oleh logika tayangan: lucu, tajam, dan cepat menyebar.
Pada masa kampanye pemilu 2024, lebih dari 120 ribu unggahan ujaran kebencian hanya di satu platform, Twitter. Sebuah studi dari Monash University dan AJI mengungkap bahwa kebanyakan bersumber dari akun anonim yang mengincar isu agama, ras, dan identitas. Lebih jauh lagi, ujaran itu bukan sekadar retorika dewasa. Bahasa serupa kini dengan mudah mereka temukan dalam konten. Iya, oleh anak-anak.
Kasus Sanaara Gelora Pratama, atau Ara, anak perempuan lima tahun dari Bandung, menjadi ilustrasi yang tak bisa kita abaikan. Awalnya ia dapat pujian karena kepintarannya berbicara. Tapi ketika ucapannya mulai menyentuh isu sensitif seperti agama, mencibir buruh pabrik, hingga menyinggung fisik orang lain, masyarakat mulai melihat bahwa ada sesuatu yang keliru dalam tawa yang semula menggemaskan.
Orang tua Ara menyebut gaya asuh mereka sebagai “vesparenting”, yaitu komunikasi dewasa yang terbuka. Tapi di balik itu, muncul pertanyaan tentang batas: sejauh mana anak kecil dapat ikut masuk ke ranah publik tanpa perlindungan yang cukup? Dan apakah kita, sebagai masyarakat tetap diam menikmati proses itu sebagai tontonan?
Ketika Anak Menjadi Konten
Menurut laporan UNICEF, hampir separuh remaja Indonesia berusia 14–24 tahun pernah mengalami cyberbullying. Dari mereka yang pernah rasakan perundungan, 45 persen mendapat pelecehan lewat pesan langsung, dan 41 persen mengalami penyebaran foto pribadi tanpa izin. Norma telah bergeser, dan kekerasan menjadi bagian dari keseharian digital.
Sementara itu, di negeri tempat TikTok lahir, penerapan pendekatannya justru berbeda, mengapa?. Di China, Douyin, versi lokal TikTok menerapkan mode remaja wajib bagi anak di bawah 14 tahun. Pengguna hanya dapat mengakses selama 40 menit per hari, dan hanya antara pukul enam pagi hingga sepuluh malam. Kontennya melalui penyaringan, wajahnya terpantau melalui teknologi pengenal wajah. Barangkali sistem itu kaku dan keras. Tapi di sana, negara memutuskan untuk ikut mengasuh.
Sebaliknya, Indonesia masih berada dalam fase merancang regulasi. Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Tata Kelola Perlindungan Anak dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik baru memasuki tahap harmonisasi. Ada pula Peta Jalan Perlindungan Anak di Ranah Digital, yang penyusunannya oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemenpppa). Namun hingga kini, belum ada sistem kontrol yang efektif berjalan di platform yang mereka gunakan setiap hari.
Di tengah semua itu, anak-anak terus menonton, menirukan, dan menyebarkan. Tak sedikit dari mereka menjadi konten, bukan lagi penonton. Dan orang tua yang seharusnya menjadi pelindung pertama, justru kerap menjadi produser utama.
Lalu, siapa yang benar-benar bisa suarakan ini untuk mereka?
Siapa yang akan menjelaskan pada mereka bahwa tidak semua yang viral itu patut ditiru?
Malam di ruang keluarga itu tetap tenang. tanpa cahaya Televisi, bahkan lampu terkadang sengaja dipadamkan. Yang menyala hanya satu layar kecil. Di dalamnya, ada anak-anak yang tertawa, berkata kasar, menyindir, berjoget, dan diikuti oleh jutaan pasang mata lain.