“Keadilan bukan hanya soal menghukum, melainkan bagaimana masyarakat kembalimenemukan keseimbangan.”
Kalimat itu pernah diucapkan dalam ruang pelatihan kepemimpinan administrator (PKA) Badan Diklat Kejaksaan RI, Angkatan III kelompok 3, oleh Ady Bayu Kesuma. Bersama rekan-rekannya, Ali Totubun, Andreas Atmaji, Bayu Novrian Dinata, Lia Pratiwi, M. Arief Ubadillah, dan Yafeth Ruben Bonai, ia membicarakan arah besar Kejaksaan yang kini berpedoman pada Asta Cita. Visi Jaksa Agung itu berisi delapan cita-cita pembangunan hukum, namun tanpa tangan administrator, semua hanya berhenti sebagai dokumen normatif.
Di balik meja-meja kerja di kantor Kejari, pejabat administrator eselon III menjadi penghubung antara kebijakan strategis dan kerja teknis. UU Nomor 11 Tahun 2021, perubahan atas UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, menegaskan kedudukan mereka dalam mengawal fungsi Kejaksaan: pidana, perdata, tata usaha negara, ketertiban umum, dan pengawasan. Peraturan Jaksa Agung RI Nomor PER-006/A/JA/07/2017 beserta perubahannya memberi kerangka organisasi, dengan administrator ditempatkan sebagai pengendali operasional.
Asta Cita sendiri memuat delapan arah kebijakan:
- Penegakan hukum berkeadilan
- Pemberantasan korupsi dan pengembalian kerugian negara
- Penguatan restorative justice
- Modernisasi manajemen berbasis teknologi
- Integritas dan profesionalisme aparat
- Penguatan fungsi intelijen penegakan hukum
- Peningkatan peran Jaksa Pengacara Negara
- Pelayanan hukum transparan dan akuntabel
Namun demikian, delapan poin itu hanya menemukan arti bila pejabat administrator mampu menjabarkannya menjadi program yang nyata.
Dalam praktik, peran administrator setidaknya meliputi enam dimensi. Pertama, mereka menjadi penerjemah kebijakan menjadi program kerja. Contoh paling kentara adalah restorative justice, sebagaimana diatur dalam Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020. Administrator memastikan perkara ringan dapat diselesaikan secara humanis, tanpa harus berujung penjara, sehingga relasi sosial kembali pulih.
Kedua, mereka mengelola kinerja dan sumber daya aparatur sipil negara. PP Nomor 30 Tahun 2019 tentang Penilaian Kinerja ASN menuntut indikator kinerja utama yang terukur. Administratorlah yang menjaga agar laporan kinerja bukan sekadar angka, melainkan cermin akuntabilitas publik.
Ketiga, mereka menjadi pembina ASN sekaligus penggerak integritas. Keputusan Jaksa Agung RI Nomor KEP-152/A/JA/10/2011 tentang Kode Perilaku Jaksa menempatkan integritas sebagai poros. Seperti pondasi rumah yang tersembunyi namun menentukan, administrator memastikan kode etik itu mengikat perilaku pegawai.
Keempat, mereka bertugas sebagai koordinator lintas bidang. Pasal 30 UU Kejaksaan mengatur kewenangan di bidang perdata, tata usaha negara, pidana umum, pidana khusus, intelijen, hingga pengawasan. Koordinasi itu membuat Asta Cita tidak berjalan parsial, melainkan menyatu antar bidang.
Kelima, mereka menjadi pengendali perubahan dan inovasi. Selaras dengan Perpres Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik, berbagai aplikasi digital lahir di tangan administrator: aplikasi kepegawaian, administrasi perkara, hingga sistem whistleblowing. Tanpa kendali mereka, modernisasi hanya tinggal jargon.
Keenam, mereka menjalankan akuntabilitas publik. PermenPAN-RB Nomor 25 Tahun 2020 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2020–2024 menuntut laporan kinerja yang transparan. Administrator memastikan data terbuka, sehingga masyarakat dapat menilai manfaat Asta Cita.
Contoh-contoh konkret membuktikan kerja mereka.
- Pidana Umum (Pidum): restorative justice untuk perkara ringan, agar ruang tahanan tidak sesak dan keadilan sosial tetap terjaga.
- Pidana Khusus (Pidsus): asset recovery dari kasus korupsi, penggunaan digital forensic untuk pembuktian tindak pidana korupsi.
- Perdata dan Tata Usaha Negara (Datun): bantuan hukum kepada pemerintah daerah agar terhindar dari sengketa.
- Intelijen: operasi intelijen penegakan hukum, penerangan hukum kepada masyarakat.
- Pembinaan: aplikasi kepegawaian dan pelatihan ASN berbasis kompetensi.
- Pengawasan: penguatan sistem whistleblowing untuk menjaga integritas internal.
Di balik semua itu, administrator bekerja senyap. Laporan demi laporan mereka susun, koordinasi demi koordinasi mereka jalankan, agar Asta Cita benar-benar hadir di ruang publik. Mungkin nama mereka tidak terdengar dalam pidato pejabat tinggi, tetapi tanpa peran itu, delapan cita-cita Jaksa Agung akan kehilangan nyawanya.
Apakah publik menyadari wajah humanis yang lahir dari kerja mereka? Seorang warga di daerah bisa menyelesaikan sengketa tanpa proses panjang, seorang pemerintah daerah mendapat pendampingan hukum, atau sebuah perkara korupsi berhasil mengembalikan aset negara. Semua itu, sesungguhnya, adalah potret Asta Cita yang dihidupkan oleh administrator.
Seperti sungai yang alirannya dibentuk oleh kontur tanah tak terlihat, Asta Cita menemukan jalannya melalui kerja para pejabat administrator. Dari balik meja kerja, notula rapat, hingga aplikasi digital, wajah Kejaksaan pelan-pelan berubah: lebih modern, lebih akuntabel, dan lebih dekat dengan masyarakat.**