BANDUNG, HAWA — Setnov bebas bersyarat dari Lapas Sukamiskin, Bandung, pada 16 Agustus 2025. Keputusan itu memicu reaksi luas di media sosial. Banyak warganet membandingkan kebebasan mantan Ketua DPR RI tersebut dengan nasib penyidik KPK yang terhenti kariernya setelah Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).

Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan mengeluarkan Surat Keputusan Nomor PAS-1423 PK.05.03 Tahun 2025 sebagai dasar pembebasan. Tim Pengamat Pemasyarakatan menyetujui keputusan itu pada 10 Agustus 2025 setelah menilai Setnov memenuhi syarat administratif dan substantif.

Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Reynhard Silitonga, menegaskan alasan pembebasan.

“Setnov telah menjalani lebih dari dua pertiga masa pidana setelah hukumannya dipangkas dari 15 tahun menjadi 12 tahun 6 bulan,” kata Reynhard pada Jumat.

Mahkamah Agung memangkas hukuman Novanto melalui peninjauan kembali pada Juni 2025. Putusan tersebut mengurangi vonis penjara menjadi 12 tahun 6 bulan serta memangkas masa pencabutan hak politik menjadi 2,5 tahun.

Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan, Agus Andrianto, menambahkan bahwa pembebasan seharusnya lebih cepat.

“Karena sudah melalui proses asesmen, dan yang bersangkutan berdasarkan hasil pemeriksaan PK itu sudah melampaui waktunya,” ujar Agus.

Setya Novanto menerima remisi berkali-kali selama menjalani pidana. Pada Idul Fitri April 2025, ia kembali memperoleh pengurangan hukuman. Kepala Kanwil Pemasyarakatan Jawa Barat, Kusnali, menjelaskan perhitungannya.

“Dihitung dua per tiganya itu mendapat pembebasan bersyarat pada 16 Agustus 2025. Setnov menjalani hukuman sejak 2017 dan senantiasa ada pengurangan remisi,” kata Kusnali.

Meski bebas, Setnov tetap berstatus klien pemasyarakatan. Ia wajib melapor ke Balai Pemasyarakatan Bandung hingga April 2029. Ia juga kehilangan hak politik sampai tahun yang sama.

Di sisi lain, Komisi Pemberantasan Korupsi mengingatkan publik atas dampak besar perkara ini.

“Kita diingatkan sebuah kejahatan korupsi yang serius, dengan dampak langsung yang dirasakan hampir seluruh masyarakat Indonesia,” kata Budi Prasetyo, Juru Bicara KPK.

Sementara itu, percakapan di media sosial menyoroti ketimpangan. Warganet menilai seorang koruptor bisa pulang lebih cepat, sedangkan sejumlah penyidik KPK justru berhenti bekerja akibat TWK. Perbandingan tersebut menjadi trending di X dan menuai ribuan komentar.

Kasus e-KTP yang melibatkan Setya Novanto menimbulkan kerugian negara Rp 2,3 triliun. Novanto divonis 15 tahun penjara pada 2018 dan berkewajiban membayar uang pengganti serta denda. Ia melunasi kewajiban itu sehingga memenuhi syarat pembebasan bersyarat sesuai Undang-Undang No. 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan.LIA