PALU, HAWA.ID – Kasus femisida, yaitu pembunuhan terhadap perempuan karena jenis kelamin atau gendernya, semakin menarik perhatian di Indonesia.
Dari kasus “wanita dalam koper” di Cikarang hingga “mutilasi perempuan” di Ciamis, serta “dibunuh karena mengingau” di Minahasa Selatan, kekerasan terhadap perempuan menjadi ancaman nyata. Dalam menghadapi tantangan ini, pengenalan motif dan pola dalam kasus femisida menjadi kunci utama.
Menurut Retty Ratnawati, Komisioner Komnas Perempuan, upaya untuk mengatasi ketidaktersediaan data nasional tentang femisida telah dilakukan melalui pemantauan pemberitaan media online.
“Pemantauan melalui pemberitaan memiliki keterbatasan, karena femisida mungkin tidak terdeteksi melalui kata kunci yang digunakan, perbedaan waktu pemberitaan dengan waktu kejadian femisida, serta tidak adanya konstruksi kasus secara utuh, hanya berdasarkan indikasi dari informasi yang dilaporkan oleh wartawan,” ungkap Retty yang merupakan dosen tetap dan ketua Departemen Fisiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.
Hasilnya diinformasikan dalam CATAHU dan Laporan Femisida setiap 25 November, dengan tujuan untuk menyebarkan pengetahuan tentang femisida dan mendorong para pemangku kepentingan untuk mengambil berbagai tindakan, termasuk dokumentasi, pencegahan, penanganan, dan pemulihan keluarga korban femisida.
“Pemerintah harus segera mengumpulkan, menganalisis, dan mempublikasikan data statistik tentang femisida sebagai tindak lanjut dari Rekomendasi Umum Komite CEDAW No. 35 tahun 2017 dengan membentuk mekanisme femisida watch,” jelas Retty.
Namun, penting untuk diingat bahwa pemantauan melalui pemberitaan memiliki keterbatasan. Femisida mungkin tidak terdeteksi karena perbedaan waktu pemberitaan dengan waktu kejadian, serta ketidakmampuan untuk mendapatkan gambaran kasus secara menyeluruh.
Oleh karena itu, menurut Retty, pemerintah diminta untuk segera mengumpulkan, menganalisis, dan mempublikasikan data statistik tentang femisida.
Kasus indikasi femisida yang kuat telah meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2020, terpantau 95 kasus, meningkat menjadi 237 kasus pada 2021, dan terus meningkat menjadi 307 kasus pada 2022. Tren ini menunjukkan perlunya perhatian serius terhadap fenomena femisida di Indonesia.
Femisida intim, yaitu pembunuhan yang dilakukan oleh suami, mantan suami, pacar, mantan pacar, atau pasangan kohabitasi, menjadi jenis femisida tertinggi. Namun, perempuan dengan disabilitas, pekerja seks, transperempuan, dan perempuan dengan orientasi seksual minoritas juga rentan menjadi korban femisida.
“Umumnya, femisida dilatarbelakangi oleh lebih dari satu motif. Dari motif yang teridentifikasi, cemburu, ketersinggungan maskulinitas, penolakan tanggung jawab, kekerasan seksual, menolak perceraian, atau pemutusan hubungan,” ujar Komisioner Komnas Perempuan, Rainy M Hutabarat.
Rainy menekankan bahwa pembeda utama femisida dengan pembunuhan biasa adalah adanya motivasi gender.
Motif-motif femisida meliputi cemburu, ketersinggungan maskulinitas, penolakan tanggung jawab, kekerasan seksual, dan penolakan perceraian. Ini mencerminkan superioritas dan dominasi gender yang masih mengakar dalam masyarakat.
Pentingnya mengenali motif dan pola dalam kasus femisida tidak hanya dalam konteks penegakan hukum, tetapi juga dalam upaya pencegahan.
Relasi perkawinan dan pacaran seringkali menjadi tempat yang tidak aman bagi perempuan. Mekanisme pencegahan dan perlindungan perlu segera dibangun untuk mencegah kekerasan dalam relasi personal ini tidak berakhir dengan kematian.*/LIA